Oleh: Julius R. Latumaerissa (Akademisi dan Pemerhati Masalah Pembangunan)

INFLASI timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.

Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makro ekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian.

Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking.

Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR). Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari kondisi supply-demand tersebut.

Demikian halnya pada saat penentuan UMR, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan.

Model Perdagangan Cabe Merah di Maluku

Dalam artikel sebelumnya sudah saya gambarkan tentang kondisi inflasi di Ambon dan Maluku secara keseluruhan, dimana andil yang paling besar yang mendorong tekanan inflasi di Ambon dan Maluku berasal dari kenaikan harga-harga bahan pangan dan bumbu-bumbuan dimana salah satunya adalah cabe merah (cili).

Setelah dikaji lebij jauh ternyata kenaikan harga cabe merah di pasaran terutama menghadapi hari-hari besar keagaman ini disebabkan karena kurangnya pasokan atau ketersedian jenis komiditi ini di pasaran.

Cabe merah atau disebut cili di Maluku merupakan bumbu utama masakan. Terkait hal tersebut maka permintaan cabe merah tergolong cukup tinggi di Maluku sebagai bumbu masakan.

Maluku sendiri memiliki beberapa daerah penghasil cabe merah antara lain di Buru, SBB, Malteng, dan SBT. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang berhasil mewawancarai pedagang yang berada di Ambon, Buru, dan SBB dimaksudkan untuk melihat dinamika perdagangan antar daerah cabe merah.

Pola distribusi cabe merah di Ambon tergolong sangat kompleks. Hal ini disebabkan cabe merah dipasok dari dalam Maluku dan luar Maluku dan banyak pemain yang ikut serta dalam perdagangan cabe merah.

Gambar-2 dan Gambar-3 jelas terlihat bahwa perdagangan cabe merah lebih banyak didatangkan dari provinsi lain yaitu Surabaya Jawa Timur, Makasar Sulawesi Selatan, Kendari Sulawesi Tenggara dan Manado Sulawesi Utara.

Berdasarkan kondisi tersebut jelas persediaan cabe merah di Maluku sangat ditentukan oleh kapasitas produksi dan ketersediaan cabe di pasar sangat ditentukan oleh kelancaran pasokan dari ke empat provinsi tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa ketergantungan masyarakat Maluku sangat kuat terhadap impor cabe dari luar maluku. Bentuk ketergantungan ini menyebabkan beberapa hal anatara lain:

Distribusi Cabe Merah di Ambon

Pasokan cabe merah yang berasal dari Ambon sebenarnya tidak terlalu besar. Cabemerah ini ditanam oleh beberapa petani saja di sekitar Waiheru. Kemudian setelah dipanen, cabe merah mengalir ke pedagang besar di Ambon.

Sedangkan sumber pasokan cabe merah yang besar Namlea (Buru), Kairatu (SBB), Masohi (Maluku Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Makassar (Sulawesi Selatan), Manado (Sulawesi Utara), dan Kendari (Sulawesi Tenggara).

Petani, pengepul, dan pedagang besar cabe merah di Namlea, Kairatu, dan Masohi mengirimkan cabe merah ke Ambon dengan menggunakan kapal ferry. Sedangkan pengepul dan pedagang besar dari Surabaya, Makassar, Manado, dan Kendari mengirimkan cabe merah ke Ambon dengan menggunakan kapal laut.

Selanjutnya cabe merah yang masuk ke Ambon terpusat pada pedagang besar, pedagang grosir, dan pedagang eceran yang akhirnya tersalurkan ke konsumen. Sementara itu pola perdagangan cabe merah di SBB secara garis besar dapat dibagi menjadi pasokan yang berasal dari dalam kabupaten dan pasokan yang berasal dari luar provinsi.

Pasokan dari luar provinsi berasal dari pedagang besar di Surabaya yang dikirimkan melalui kapal laut ke pedagang eceran di SBB. Sementara itu pasokan yang berasal dari SBB sendiri berasal dari petani kemudian ke pengepul selanjutnya ke pedagang eceran dan akhirnya ke konsumen.

Pola distribusi pedagang cabe merah di Buru berasal dari petani. Hal ini disebabkan Buru merupakan kabupaten penghasil cabe merah. Dari petani, cabe merah mengalir ke pengepul, pedagang besar, pedagang eceran, dan bermuara pada konsumen akhir.

Di pedagang eceran, terjadi penyaluran cabe merah dalam satu level. Hal ini diduga karena cabe merah cenderung cepat rusak, pedagang eceran berusaha memperluas penyebaran cabe merah ke pedagang cabe merah lainnya.(Lihata Gambar-4, Gambar-5 dan Gambar-6).

Mencermati sistem pembelian barang antar sesama pedagang cabe merah, maka diperoleh informasi bahwa sistem pembelian yang paling populer adalah tunai dengan persentase mencapai 63,6%, diikuti oleh konsinyasi 31,8%, dan kontrak 4,5% (Bank Indonesia).

Populernya sistem pembelian tunai disebabkan sifat cabe merah yang mudah rusak. Masih terkait dengan sistem pembelian barang, sebanyak 64,3% pedagang yang menggunakan sistem pembelian tunai mengaku memperoleh harga lebih murah dari harga pasar sedangkan 35,7% yang lain mendapatkan harga yang sama dengan harga pasar.

Sementara itu untuk sistem pembelian konsinyasi, sebanyak 71,4% responden memperoleh harga yang sama dengan harga pasar dan 28,6% responden lainnya memperoleh harga lebih murah dibandingkan harga pasar. Infrastruktur yang prima akan sangat membantu distribusi dan pemasaran barang. Infrastruktur ini terdiri atas bandara, pelabuhan, dan jalan. (bersambung)