Pangan Lokal Maluku Jangan Sampai Terabaikan
BERITABETA, Ambon – Gejolak ekonomi nasional yang makin memburuk, ditambah dengan produktifitas pangan yang makin tidak menentu, dengan masih dilakukannya proses impor pangan dari luar negeri, diharapkan dapat diatasi dengan intervensi yang kuat terhadap keberadaan pangan lokal.
Maluku memiliki potensi pangan lokal yang sangat beragam dan menjanjikan, sehingga potensi ini wajib dikembangkan jangan sampai terabaikan.
“Kita melihat persoalan pangan saat ini, tentunya cukup memprihatinkan, meski hingga saat ini negara masih mampu mengatasinya, tapi tahun-tahun mendatang, masalah pangan ini akan menjadi hal yang cukup pelik bagi kita di daerah. Maka Maluku sudah harus gencar mengembangkan alternatif yang menjanjikan bagi masayarakat di masa mendatang,” penegasan ini disampaikan Kepala Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Maluku, Ir. M.Z. Sangadji, MSi dalam sebuah kesempatan di Ambon.
Sagandji memperkirakan di tahun-tahun mendatang, masalah pangan di Maluku akan menjadi masalah yang pelik, mengingat kebutuhan pangan secara menyeluruh yang dikonsumsi masyarakat sebagai konsumen di daerah ini sangat bergantung pada pangan yang didatangkan dari luar daerah.
“Saya kira saat ini kita tidak bisa lagi bicara soal padi (beras), sebab produktifitasnya seakan sudah stagnan. Kami melihat di beberapa daerah sentra produksi di Maluku sepertinya kondisi ini sudah stagnan. Sementara, kebutuhan akan beras selalu tinggi dan memaksakan negara akhirnya menempuh jalan impor sebagai solusinya,” ungkap mantan Kepala Bappeda Maluku ini.
Dikatakan masalah pangan secara nasional sangat memegang peran yang cukup urgen. Kasus-kasus gizi buruk dan kelaparan yang belakangan muncul salah satu penyebabnya adalah masalah ketersedian pangan itu. Maluku juga mengalami hal yang sama. Untuk itu, potensi pangan lolal seperti sagu, umbi-umbian dan jenis tanaman pangan local lainnya di Maluku harus didorong produktifitasnya untuk menjaga keseimbangan konsumsi masyakat di masa mendatang.
“Kita punya sagu, hotong, singkong, ubi jalar, jenis umbian lain dan segala jenis pangan lokal itu, harusnya lebih intens dikembangkan. Selain itu kampanye mengkonsumsi pangan lokal ini wajib digalahkan, agar masyarakat Maluku dapat kembali menjadikan pangan lokal sebagai satu-satunya pangan yang dikonsumsi, bukan beras,”tandasnya.
Dikatakan, konsep pembangunan ketahanan pangan dalam Undang-Undang Pangan No. 18 Tahun 2012 dengan meningkatkan ketahanan pangan di berbagai tingkatan wilayah, harusnya menjadi tujuan utama bagi pemerintah daerah, termasuk di Maluku.
Upaya inilah yang selama ini lakukan Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Maluku, namun keterbatasan kewenangan institusi juga membuat, intervensi masalah pangan di daerah ini dirasakan belum maksimal.
“Kewenangan kita cukup terbatas, kita tidak memiliki domain dalam hal produksi hanya mengatur masalah pengolahan dan pendataan potensi. Tahun ini kita mulai melakukan sedikit intervensi hanya saja kegiatan itu cukup kecil, misalnya dengan membagi bibit dari tanaman pangan kepada petani,”kata Sangadji.
Menurut Sangadji, upaya yang ditempuh pemerintah pusat selama ini melalui intervensi sejumlah program, sudah maksimal dilakukan pihaknya, hanya saja efek yang dirasakan masyarakat belum begitu kuat terhadap tujuan yang ingin dicapai. Sejumlah program semisal one day no rice, lomba cipta menu dan juga beberapa program lainnya itu, harusnya dapat di-folow-up lebih jauh lagi oleh pemerintah daerah.
“Kita memang terbantu oleh sejumlah program itu, tapi memang perlu lebih gencar lagi dilakukan terutama dari sisi produktifitasnya. Petani kita harus dibina ke arah yang kita tujuh, bukan semata pada pengembangan komoditi pangan nasional, tapi lebih penting adalah pangan lokal,”tegas dia.
Diversifikasi pangan lokal, kata Sangadji, sangat dibutuhkan demi mengurangi ketergantungan konsumsi masyarakat pada sumber pangan tertentu. Lagi-lagi, bila berbicara masalah pangan lokal, maka kuncinya ada pada ketersediaan, berikut produktifitasnya oleh petani lokal di daerah ini.
“Peningkatan produksi tersebut perlu diimbangi dengan upaya penganekaragaman pangan, agar mengurangi ketergantungan terhadap sumber pangan tertentu melalui pengembangan dan mempromosikan pangan-pangan alternatif selain beras, yang mempunyai daya saing dan memiliki kandungan gizi yang baik,” tuturnya.
Selain itu, melalui penganekaragaman pangan berbasis sumber daya lokal tersebut diharapkan juga sebagai sumber pangan fungsional yang dapat meningkatkan kesehatan dan mampu menghambat penyakit degeneratif.
“Sebagai contoh, seperti kita ketahui bersama, sagu dapat menjadi alternatif pangan lokal yang sangat potensial untuk dikembangkan. Kita memiliki luas areal sagu sekian hektar, yang apabila produksinya digenjot dengan pengolahan yang maksimal, maka dapat dimanfaatkan secara optimal dan dapat mensubstitusi sebagian tepung-tepungan yang berasal dari impor,” paparnya.
Dan jika hal ini dilakukan, maka diversifikasi pangan lokal tersebut sejatinya mampu menghemat devisa negara miliaran rupiah. Untuk itu, sambung Sangadji, Maluku kekinian harusnya mampu mengampanyekan serta mengapilasikan tingkat konsumsi pangan lokal ini mencapai 50 persen, sehingga ketergantungan konsumen pangan tertentu di Maluku dapat diatasi.
“Makan sagu, umbi-umbian dan jenis pangan lokal lainnya itu tentunya tidak mengurangi gizi kita, bahkan ada pangan lokal yang memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi,” tandasnya. (BB/SP)