Oleh: Agus Rachmad Nurlette (Pemerhati Ekonomi dan Sosial)

SEJAK kemunculannya pada awal tahun 2020 ini, virus corona atau Covid-19 telah menyebabkan permasalahan yang sangat dahsyat bagi kehidupan manusia. WHO melaporkan sampai dengan 27 April 2020 setidaknya 3.003.944 jiwa positif terinfeksi dan menyebabkan setidaknya 207.111 jiwa diantaranya meninggal dimana kondisi ini masih terus berlangsung tanpa diketahui ujungnya.

Berbagai lembaga telah memprediksi pola penyebaran covid 19 akan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Seperti dikutip dari portal berita  CNN Indonesia menulis tentang rilis dari Universitas Teknologi dan Desain Singapura (SUTD) yang memprediksikan pola penyebaran covid 19 di wilayah Asia Tenggara akan berakhir pada bulan Juni 2020.

Rilis ini didasarkan pada perhitungan dengan metode SIR (susceptible-infected-recovered) dan Indonesia yang menjadi negara terakhir di wilayah Asia Tenggara yang akan berakhir pada bulan juni 2010 nanti.  Dilain sisi terdapat pihak yang meragukan prediksi tersebut, salah satunya oleh epidemolog indonesia, Dicky Budiman.

Terlepas dari polemik sampai kapan situasi pandemi ini akan berakhir kenyataanya Covid-19 telah berhasil memporakporandakan tatanan kehidupan manusia pada berbagai sektor dan salah satu sektor vital yang juga terdampak karenanya adalah sektor pangan.

Berbagai cara ditempuh oleh pemerintah untuk memastikan stabilitas perekonomian. Langkah-langkah strategis tersebut dengan memanfaatakan sumberdaya yang dimiliki pemerintah untuk memberikan insentif pada sektor ekonomi, kebijakan relaksasi impor sampai pada kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan berbagai urgensinya.

Penerapan kebijakan PSBB yang semakin meluas ke berbagai wilayah di Indonesia seolah mengisolasi satu wilayah dengan wilayah lainnya. Meskipun kebijakan pembatasan tersebut tidak berlaku untuk sektor perhubungan  atau  lalu lintas barang antar wilayah, namun dalam praktiknya secara tidak langsung ikut mempengaruhi sistim ‘suplly chain’ komoditas pangan. Hal ini dapat dirasakan secara nyata dengan fenomena melonjaknya harga-harga bahan makanan di berbagai wilayah.

Stabilitas ketahanan pangan daerah menjadi faktor penting dalam kedaulatan sebuah negara. Permasalahan pangan yang tidak stabil dapat memicu permasalahan sosial lainnya yang berujung pada tidak kondusifnya tatanan kehidupan masyarakat.

Produk lokal tepung sagu Ratu Andan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan mendefenisikan pangan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati pertanian/ peternakan/perikanan, perairan dan air, baik yang diolah maupaun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan dan minuman untuk konsumsi manusia.

Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara/wilayah sampai tingkat rumah tangga dan individu yang  tercermin dari tiga pilar yaitu ketersediaan yang cukup, kemudahan untuk diakses dan pemanfataan untuk dikonsumsi.

Berbeda dengan Ketahanan Pangan, Kemandirian Pangan didefinisikan secara terpisah dalam undang-undang tersebut sebagai kemampuan negara/wilayah dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai pada tingkat individu dengan memanfaatkan sumberdaya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara bermartabat.

Dengan demikian upaya menjaga ketahanan pangan wilayah dapat ditempuh dengan memaksimalkan upaya kemandirian pangan ataupun memaksimalkan suplly pangan dari wilayah lain (import). Dalam kondisi pandemik seperti ini dampak dari kebijakan stabilitas ketahanan pangan suatu wilayah dipertaruhkan.

Wilayah-wilayah yang selama ini lebih banyak menyandarkan stabilitas ketahanan pangan melalui import mulai merasakan “susahnya” menjaga pasokan pangan bagi masyarakat.

Sebalikanya wilayah-wilayah yang menerapkan strategi kemandirian pangan dalam menjaga stabilitas ketahanan pangan semakin kratif dan protektif menjaga rantai suplly pangan-nya, seperti Thailand salah satunya. Negara yang selama ini memiliki surplus dan menjadi pemasok beras pada berbagai negara mulai membatasi kebijakan ekspor berasnya.

Dalam situasi yang semakin tidak menentu ini pemerintah terus  berpikir keras dan kratif untuk menjaga stabilitas ketersediaan bahan pangan di seluruh wilayah Indonesia.

Presiden Jokowi dalam rapat terbatas bersama jajaran kebinetnya pada senin 27 April kemarin mengidentifikasi adanya kemungkinan defisit sejumlah komoditas pangan pokok seperti gula, jagung, telur dan lain-lain diberbagai provinsi di Indonesia.

Hal ini menunjukan bahwa ancaman kelangkaan pangan itu nyata di depan mata kita dalam situasi pandemi ini. Urgensi kemandirian pangan sangat terasa saat ini dan menjadi pelajaran bagi kita semua yang selama ini lebih mengedepakan stabilitas ketahanan pangan melalui pasokan dari wilayah lain.

Dalam konteks yang lebih khusus di wilayah Maluku dengan modal sumberdaya yang sangat berlimpah di darat dan laut sudah saaatnya dimaksimalkan pengelolaannya secara terintegrasi untuk menjadi penyangga utama stabilitas ketahanan pangan daerah.

Kita dituntut untuk terus menggali peluang dan memecahkan tantangan untuk bersama-sama pemerintah mewujudkan kemandirian pangan daerah saat ini. Seolah senafas dengan ungkapan “Orang menjadi kreatif dan produktif disaat terjepit”.

Pemerintah harus berani mengambil kebijakan-kebijakan praktis untuk memaksimalkan pemanfataan sumberdaya yang tersedia, sagu misalnya. Menurut data statistik perkebunan kementrian pertanian tahun 2018 ketersediaan potensi sagu wilayah Maluku mencapai 41.496 Ha. Namun sampai saat ini pemanfaatannya tidak lebih dari 25% dan semakin hari semakin terpinggirkan.

Sagu yang selama ini menjadi sumber pangan inferior mulai dilirik sebagai alternatif penyangga pangan di musim pandemi ini, setidaknya oleh Bulog.  Sudah pengelolaan waktunya agribisnis dan agroindustri sagu dan komoditas lain yang tersedia di wilayah ini diatur tuntas dari hulu ke hilir tentu dengan tetap mengedepankan aspek keberlanjutannya.

Meskipun dengan berbagai tantangan yang ada, setidaknya dalam situasi seperti saat ini masih terdapat peluang yang dapat dimanfaatkaan. Disaat semua sektor bisnis menjadi menurun, sektor agribisnis (pertanian/peternakan/perikanan) justru menjadi sektor yang paling mungkin dikembangkan.

Adanya fenomena pulang kampung besar-besar menjadi modal ketersediaan tenaga kerja di pedesaan yang selama ini menjadi kelemahan pengembangan usaha agribisnis pedesaan akibat arus urbanisasi.

Kesungguhan ini harus segera ditindaklanjuti karena setiap hari kita harus makan, selebihnya jangan dilupakan fokus utama harus pada sektor kesehatan sebagai garda terdepan dalam perang melawan wabah ini. Wallahua’lam (***)