BERITABETA.COM, Ambon – Ahli Geologi Dr. Nugroho Dwi Hananta yang juga Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ambon menyarankan  kepada para pemangku kebijakan di Provinsi Maluku agar dapat menetapkan persyaratan bangunan yang berada di lokasi-lokasi rawan gempa.

Hal ini diperlukan menyusul informasi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Maluku, yang menyebutkan hingga Sabtu (26/10/20019) telah terjadi sebanyak 1.870 gempa susulan di Pulau Ambon dan sekitarnya.

Kepada wartawan beritabeta.com, Minggu (27/10/2019) via telepon selulernya, doktor lulusan  Institut de Physique du Globe de Paris, Prancis ini menjelaskan, penetapan persyaratan bangunan harus dilakukan sebelum kembali dibagun daerah yang terdampak gempa. Selain itu dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat terkait kelayakan bangunan di daerah terdampak.

Dikatakan, jumlah gempa susulan yang mencapai 1.870 kali itu, terjadi kibat frekuensi gempa dan sebaran gempa susulan yang menandakan luasnya area yang mengalami “rupture” (pemecahan) atau daerah terdampak dalam proses pelepasan energi suatu sumber gempa.

“Episenter gempa bukanlah suatu titik  namun dalam suatu bidang tiga dimensi. Episenter merupakan awal mula rupture gempa. Nah dalam suatu siklus gempa ini merupakan hal yang lazim terjadi dan bisa berlangsung dalam waktu yang cukup lama bergantung pada besarnya mainshocks,” katanya.

Ilustrasi Sismometer

Untuk itu, kata Hananto, bagi masyarakat yang terdampak, hal ini sangat mengganggu dan sangat tidak nyaman disamping juga membahayakan bagi penghuni gedung-gedung/bangunan,  karena akan terjadi goyangan secara terus menerus.

Menurutnya, dengan adanya kondisi yang terjadi saat ini, sangat diperlukan kesabaran dan pemahaman literasi kebencanaan yang baik dari masyarakat agar situasi dapat segera pulih kembali.

“Secara ilmiah, penelitian tentang gempa susulan ini penting untuk mengetahui sifat-sifat tektonik dan pergerakan lempeng serta struktur bawah permukaan daerah sumber gempa,” tandasnya.

Lebih jauh Hananto menjelaskan, kondisi saat ini juga sangat diperlukan adanya metoda dengan menggunakan seismometer dan pengukuran GPS serta ambient seismic noise.  Pasalnya, gempa susulan yang terajdi di Ambon manyoritas berada di laut terutama di kedalaman > 200m, maka diperlukan pengukuran gempa dengan ocean bottom seismometer (OBS).

“Sayangnya alat ini belum ada yang punya di Indonesia. Dan saat ini LIPI dalam proses mengadakan sebnayak 10 unir OBS,” ungkapnya.

Ditambahkan, dalam kurun  waktu tahun 2019-2024 LIPI akan melakukan itu sejalan dengan proses pengembangan armada kapal riset nasional untuk melakukan karakterisasi sumber gempa bawah laut.

“Jadi alat ini nantinya menjadi fasilitas terbuka yang dapat digunakan oleh seluruh peneliti Indonesia, regional dan global,” jelasnya.

Seismometer adalah alat atau sensor getaran, yang biasanya dipergunakan untuk mendeteksi gempa bumi atau getaran pada permukaan tanah. Hasil rekaman dari alat ini disebut seismogram.

Prototip dari alat ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 132 SM oleh matematikawan dari Dinasti Han yang bernama Chang Heng. Dengan alat ini orang pada masa tersebut bisa menentukan dari arah mana gempa bumi terjadi.

Dengan perkembangan teknologi dewasa ini maka kemampuan seismometer dapat ditingkatkan, sehingga bisa merekam getaran dalam jangkauan frekuensi yang cukup lebar. Alat seperti ini disebut seismometer broadband.(BB-DIO)