Hatta dan Danantara

Campur tangan dan semua syarat itu membuat Soekarno meneriakkan kalimat ‘go to hell with your aid’ ke AS. Yang kemudian disusul dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1965 pada Agustus 1965. Yang isinya menolak segala bentuk keterlibatan asing dalam perekonomian Indonesia. Bahkan Soekarno menasionalisasi beberapa perusahaan AS di Indonesia.
Tetapi kita semua tahu. Kemarahan Soekarno harus ia bayar mahal. Selain krisis ekonomi. Juga krisis politik yang berujung 11 Maret 1966: Soekarno harus menyerahkan kekuasaannya kepada Soeharto.
Kembali ke pendirian Danantara. Ada prinsip dan pemikiran Hatta di situ. Karena Danantara adalah pintu untuk mengoptimalkan modal nasional dalam pembangunan di dalam negeri.
Meskipun saya tidak tahu, apakah tokoh-tokoh yang duduk di kepengurusan lembaga itu mendalami taksonomi pemikiran Hatta atau belum. Tetapi kita harus dorong ke arah sana.
Danantara harus secepatnya melakukan investasi pilihan yang memiliki dua orientasi. Pertama, orientasi ketahanan nasional bangsa ini. Kedua, orientasi membuka lapangan kerja bagi rakyat.
Danantara juga harus menerapkan model pembangunan people-first atau dengan model 4P (public-private-people partnership). Jangan menggunakan anjuran SDG’s yang hanya 3P (public-private partnership), tanpa melibatkan people.
Pembangunan atau proyek yang digagas Danantara wajib membawa serta rakyat. Sehingga sesuai dengan norma Pasal 33 Konstitusi kita. Ada usaha bersama. Ada azas kekeluargaan. Ada prioritas pengelolaan sumber daya alam oleh negara. Ada tujuan untuk kemakmuran bersama. Dan ada keadilan ekonomi.
Caranya adalah membawa serta rakyat melalui tiga pintu. (1). Co-ownership, alias ikut serta dalam kepemilikan. (2). Co-determination alias ikut serta menentukan prosesnya. Dan (3). Co-responsibility alias ikut serta bertanggungjawab, sehingga ikut menjaga kelangsungan business process. (Swasono:2008)
Dengan begitu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan atas negara ini, terlibat dalam pelembagaan perekonomian nasional, melalui kepemilikan alat produksi nasional. Karena itulah hakikat ekonomi kerakyatan yang dirancang pendiri bangsa ini.
Jadi filosofi kerja Danantara seyogyanya harus berbeda dengan mazhab pemikiran ekonomi laissez-faire dan liberal. Yang menganut model tunggal pertumbuhan ekonomi. Yang kemudian didalilkan akan terjadi re-distribution from growth. Tetapi harus menggunakan model pemerataan ekonomi. Yang akan diikuti dengan re-distribution with growth. (*)