BERITABETA.COM, Namlea - Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Buru, M Adjie Hentihu , menilai Undang -Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) sangat merugikan daerah termasuk Kabupaten Buru.

"Semua perizinan dialihkan ke pusat. Tidak ada lagi yang jadi kewenangan izin di kabupaten maupun provinsi," tandas M Adjie Hentihu kepada awak media di ruang kerjanya, Sabtu (2/03/2021).

Adjie mengaku, UU itu bahkan turut mengatur soal perizinan galian C, dimana BUMD, Koperasi, maupun perusahan milik perorangan, harus mengantongi Surat Izin Pertambangan Bebatuan (SIPB) dari Pemerintah Pusat.

Ia menjelaskan, SIPB itu meliputi andesit, tanah liat, pasir urug, kerikil sungai dan lain sebagainya.

"Harus secepatnya ada turunan dari UU Nomor 3 tahun 2020 , lebih khusus lagi tentang SIPB , sehingga kami di provinsi  bisa bekerja,"tegas  Adjie Hentihu.

Akuinya, sekarang ini di seluruh Indonesia dan bukan hanya di Kabupaten Buru, mengalami hal yang sama terkait dengan  izin galian C. Padahal sebelumnya izin cukup di kabupaten/kota yang punya kandungan material tersebut.

"Saya berkoordinasi dengan provinsi, dengan teman-teman di daerah lain, semuanya keluhan yang sama. Semua menunggu turunan dari UU Nomor 3 tahun 2020. Turunannya seperti apa?," ujar Adjie Hentihu.

Ketika semua masih menunggu, tegasnya, tidak mungkin Pemerintah Kabupaten Buru menghentikan seluruh kegiatan terkait dengan pemanfaatan galian C yang ada di daerah.

Sekali lagi ditegaskannya, izin galian C yang beralih ke Pemerintah Pusat cukup merugikan daerah kabupaten.

"Artinya apa ? Kita ini  mau membangun, tapi perizinannya di pusat seperti apa. Rugi daerah, terutama kita di kabupaten, baik itu izin tambang emas, apapun namanya, sampai di galian C, itu daerah dirugikan. Sangat dirugikan oleh UU Nomor 3 ini yang kewenangannya dialihkan ke pemerintah pusat,"sesal Adjie Hentihu.

Menyorot khusus kegiatan galian C di Kabupaten Buru, lanjut Adjie Hentihu, Dinas KL sudah menyusun zona pengambilan galian C . Ada tiga zona dan seluruhnya berada di dalam kali (sungai).

Terkait dengan galian C yang diambil di sungai-sungai dan lagi ramai dibicarakan, akui Adjie Hentihu tingkat resiko sangat minim. Karena dia bukan membongkar gunung, atau merambah hutan, atau menghancurkan sesuatu.

“Galian C yang ada dalam kali itu secara alami turun dari gunung dan hutan saat musim penghujan. Entah itu dari patahan gunung atau yang lain dan materialnya berjuta-juta ton masuk ke sungai mengalir dari hulu ke hilir,” jelasnya.

Hentihu megaskan, apa jadinya kalau dibiarkan material itu terus menumpuk dalam kali. Nanti suatu saat akan terjadi peninggian permukaan air saat hujan karena pendangkalan kali, kemudian air itu masuk ke perkebunan masyarakat yang ada di tepian.

"Nah, ini juga masalah. Iya toh, sehingga secara ekologis, ketika ada pengangkatan material galian C dari dalam kali, maka dengan sendirinya permukaan air itu akan turun, air akan berjalan sesuai alurnya. Dia tidak akan merambah ke mana-mana.Ini minim resiko terhadap lingkungan dan memang tidak ada resiko sama sekali,"bebernya.

Galian C untuk kebutuhan proyek pembangunan

Kemudian dari aspek ekonomi, seandainya kran galian C ditutup, maka pengusaha akan mendatangkannya dari luar Kabupaten Buru. Ini menyebabkan harga galian C naik dan akan berimbas kepada mahalnya penganggaran.

"Sehingga kran galian C ini tetap kita buka. Supaya apa? Agar pembangunan tetap jalan, baik itu proyek APBN, APBD, dan terutama masyarakat yang membangun rumah dan sebagainya dapat memanfaatkan galian C dari situ,"papar Adjie.

Menurut Adjie Hentihu, pemerintah tidak mungkin terus menerus melakukan reklamasi di kali yang dangkal, karena terbentur dengan anggaran. Tapi ketika material dalam kali ini dimanfaatkan oleh pengusaha galian C, secara ekonomi akan menambah pendapatan kepada masyarakat yang punya lahan, maupun kepada pekerja dan semua kegiatan pembangunan yang terkait galian C tetap berjalan.

Kemudian ada retribusi/pajak galian C yang disetor juga ke daerah (Pemkab Buru), proyek provinsi, pusat maupun kabupaten.

Menyinggung tentang perizinan , di UU Nomor 32 ada tiga tahap dalam proses perizinan, termasuk diantaranya  ada AMDAL, dan UPL/UKL. AMDAL itu kalau pekerjaannya dalam skala besar, HPH, pertambangan dan sebagainya. Kalau UPL/UKL diterapkan kepada pengusaha galian C yang mengambil material dari kali.

Para ahli juga yang menyusun UPL/UKL. Mereka tidak bekerja di atas meja, tapi turun langsung ke lapangan. Ahli-ahli dari UNPATTI yang menyusun UPL/UKL ini.Bukan sembarangan orang yang menyusunnya, sehingga hasilnya betul-betul digunakan sebagai referensi lingkungan dalam mengelola galian C dan sebagainya.

"Marilah kita lebih percaya kepada ahlinya dari pada percaya di luar dari pada itu terkait dengan kerusakan lingkungan, pencemaran dan sebagainya,"ucap Adjie Hentihu (BB-DUL)