BERITABETA.COM, Jakarta – Menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) membuatnya tidak berdaya untuk tetap tinggal di Jakarta. Pandemi virus corona ikut menjadikannya sebagai korban karena pekerjaan sebagai sopir bus pariwisata juga hilang.

Dengan kondisi serba pas-pasan, warga Kota Solo, Jawa Tengah, bernama Maulana Arif Budi Satrio, ini nekat mudik ke kampung asalnya di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Kota Solo, dengan jalan kaki. Pilihan ini dilakukan karena tidak mampu membeli tiket bus umum yang harganya dinilai terlalu tinggi.

“Jadi tanggal 8 Mei 2020 sudah diumumkan kalau semua pekerja di tempat saya bekerja di-PHK. Itu yang saya pikirkan, kalau tidak ada pekerjaan ke depan bagaimana,” kata pria berusia 38 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai sopir bus pariwisata ini, di Solo, seperti dikutip dari CNNindonesia.com, Rabu (20/5/2020).

Ia mengatakan pilihan untuk bertahan di Jakarta atau pulang ke Solo di masa pandemi ini telah dipikirkan masak-masak. Dia memutuskan pulang ke Solo lantaran tidak mendapat pesangon apapun dari perusahaan.

“Tetapi ketika saya cari tiket bus ternyata harganya luar biasa, sampai Rp500 ribu. Itu pun yang datang Elf (minibus) yang jumlah penumpangnya melebihi kapasitas, kan saya takut,” katanya.

Akhirnya pada tanggal 11 Mei, Maulana memutuskan pulang berjalan kaki. Selama perjalanan ia mengaku tak pernah merencanakan istirahat dalam waktu lama.

“Saya sering istirahat, tetapi sebentar-sebentar saja, istirahat paling lama kalau pas sahur sampai Subuh.

Setiap harinya Rio begitu sapaanya, berjalan kaki selama 12 jam dengan jarak tempuh 100 kilometer.

“Rata-rata berjalan 12 sampai 14 jam per hari, rata-rata menempuh 100 kilometer per hari. Pokoknya kalau capek istirahat,” ucapnya.

Rio memutuskan berangkat pada tanggal 10 Mei 2020 dengan hanya membawa bekal uang sebesar Rp 400 ribu.

“Uang sisa sekitar Rp 400 ribu, itu sisa uang bulanan lalu. Makanya saya langsung pulang dengan jalan kaki, subuh saya berangkat,” tambahnya.

Ia mengaku niatnya untuk pulang kampung sempat terhalang karena sesampainya di kawasan Cikarang ia dicegat petugas.

“Saya putus asa dan berantem di tol Cikarang katanya suruh balik, makanya, kalau saya tetap tinggal di Jakarta, saya hanya bertahan lima hari,” jelasnya.

Tiga hari berjalan kaki atau pada 14 Mei sore Maulana memasuki Gringsing, Kendal dengan jarak tempuh 440 kilometer. Niatnya melanjutkan perjalanan dari Kendal ke Solo naik kendaraan. Namun, Maulana mengaku terkendala biaya.

Ia memutar otak, lantas memutuskan menghubungi pengurus pusat Persatuan Pengemudi Bus Pariwisata di mana ia menjadi salah satu anggotanya.

“Kemudian saya dihubungkan dengan pengurus Jawa Tengah yang ada di Semarang. Alhamdulilah saya dapat dukungan penuh, bahkan saya juga dimarahi kenapa melakukan hal nekat seperti itu,” tutur Maulana.

“Selanjutnya saya diminta menunggu saja di Gringsing dan pengurus yang di Semarang menjemput, kemudian saya diantar sampai ke Solo,” katanya lagi.

Menuju Rumah Karantina

Sesampainya di Solo, bapak satu anak ini langsung menuju ke rumah karantina, yaitu di Gedung Graha Wisata Niaga Solo.

“Waktu dicek kondisi saya bagus. Bahkan suhu tubuh 32 derajat celcius, saya memang dengan kesadaran sendiri langsung ke rumah karantina ini. Sekaligus saya ingin menunjukkan kepada semua orang bukan berarti orang yang dari Jakarta itu membawa virus,” katanya.

Sesuai dengan aturan, ia akan berada di rumah karantina tersebut hingga tanggal 29 Mei 2020.

“Jadi saya lebaran di sini, tetapi banyak temannya. Saya juga belum ketemu keluarga, tetapi sudah memberi kabar kalau saya sudah sampai di Solo,” katanya (BB-DIP)