PARA pakar IT merancang teknologi yang kita kenal bernama media sosial dengan mengambil sampel serupa kerangka sarang lebah.  Sampel ini karena media sosial memberikan definisi dengan fokus layanan pada beberapa atau tujuh blok bangunan fungsional yang meliputi identitas, percakapan, berbagi, kehadiran, hubungan, reputasi, dan kelompok.

Bangunan blok itulah yang dapat digunakan untuk membantu audiens media sosial.  Seperti saat ini kita gunakan. Melalui upload status kemudian ditanggapi sesame netizen.

Media sosial “mengajak” orang-orang yang tertarik untuk berpartisipasi dengan memberi kontribusi dan feedback secara terbuka, memberi komentar, serta membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tidak terbatas.

Demikian cepatnya orang bisa mengakses media sosial mengakibatkan terjadinya fenomena besar terhadap arus informasi, tidak hanya di negara-negara maju, tetapi juga di Indonesia.

Media sosial juga mulai tampak digunakan sebagai pengganti peran media massa konvensional dalam penyebaran berita atau informasi. Media sosial juga berfungsi sebagai platform di era disrupsi digital. Proses ini sekarang difasilitasi melalui API (Application Programming Interface).

Sisi positifnya, kecepatan informasi terpenuhi tanpa batas ruang dan waktu. Kapan saja, dimana saja.  Ruang kebabasan ini membuat pertumbuhan pengguna internet melaju cukup pesat.

Tak heran jika data survey menyebutkan, jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2015 telah mencapai 99,6 juta orang pengguna, padahal pada tahun 2014 angka itu hanya mencapai 43 juta pengguna.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), menyebutkan layanan media sosial yang paling banyak dikunjungi adalah Facebook sebesar 71,6 juta orang (54%), disusul Instagram dengan 19,9 juta pengguna (15%), dan Youtube sebesar 14,5 juta pengguna (11%).

Begitu pesatnya berkembangnya teknologi digital ini acap kali merubah perilaku penggunanya. Tanpa sadar media sosial yang dibangun dengan mengambil konsep ‘kerangka sarang lebah’ dengan prinsip kerja tujuh bangunan blok fungsional itu, malah benar-benar seperti dihuni oleh ‘lebah’ yang bernama netizen.

Tak heran, ketika mereka (para penghuninya) marah dan tak suka akan berakibat fatal.  Kita lalu sadar, rontoknya Husni Mubarak dari kursi kekuasaan karena kekuatan penyebaran informasi  dari media bernama Facebook.

Barack Obama dapat melenggang mulus dalam pemilihan presiden karena kekuatan dunia maya. Joko Widodo, Presiden kita juga cepat popular karena terangkat oleh peran media sosial saat itu.

Apalagi kehadiran media sosial saat ini makin erat ber-simbiosis dengan media massa digital. Ekosistem ini membuat peran wartawan kadang diselip oleh netizen atau warganet, karena kecepatan dan kebebesan yang dimiliki.

Karena kecepatan dan pengaruh media sosial ini membuat Presiden Jokowi pernah menggunakannya untuk menyampaikan pesan berisi tiga pitutur (pepatah) Jawa yang berbunyi :

‘Lamun sira pinter, aja minteri’, yang artinya ‘meski Anda pintar namun jangan memintari (membohongi)’. “Lamun sira banter, aja ndhisiki’, yang artinya ‘Meski Anda kencang, jangan mendahului’. Dan terakhir, ‘Lamun sira sekti, aja mateni’.