Apa dosa anak negeri ini? Seakan tak pupus satu demi satu prahara di tanah nan kaya ini. Tapi apa pula daya dan upaya. Pedang kebijakan kerap melukai penghuni tanah raja-raja ini.

Sungguh ini potret ketidakadilan. Di saat pompa-pompa minyak  di Nusa Ina [Pulau Seram] masih mengangguk menyedot perut bumi tak hentinya, para ibu pun terus menjerit karena kebingungnan mencari  kerosene [minyak tanah].

Bahan Bakar Minyak [BBM] jenis ini memang menjadi primadona rumah tangga orang Maluku. Ini sebuah elegi. Sejarah mencatat tanah kita bukan saja dikenal sebagai The Spicy Island, pulau penghasil rempah terbesar di dunia.

Tapi juga isi perut bumi Maluku telah lama digarap untuk kepentingan Negara. Sudah seabad lebih Nusa Ina menghasilkan minyak mentah.

Dimulai dari aktivitas Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM)—anak perusahaan De Koninklijke atau dikenal The Royal Dutch pada tahun 1895, di Pulau Seram, Kota Bula.

Dari Bula, The Royal Dutch-Shell berubah menjadi perusahaan raksasa dunia saat itu. Ratusan juta barel minyak mentah dihasilkan disana.

Eksplorasi Cekungan Bula terus dilakukan, usai Royal Dutch Shell,  sumur Bula kemudian berproduksi lebih dari 8 juta barrel dari 1913 sampai dengan Pulau Seram dievakuasi Jepang pada Tahun 1944.

Zaman kolonial telah berganti. Kontrak PSC (Seram PSC) pertama kali ditandatangani pada 1 November 1969 oleh Pertamina bersama dengan Gulf dan Western untuk memulai kegiatan perminyakan di Bula dalam jangka waktu 30 tahun.

Kemudian Kontrak Kerja Sama WK Seram Bula baru ditandatangani kembali oleh Kalrez Petroleum (Seram) Ltd yang bertindak sebagai Operator tunggal pada tahun 1999 sampai dengan November 2019.

Secara estafet, perpanjangan Kontrak Kerja Sama kemudian dilanjutkan hingga 20 tahun. Bula menjadi tanah surga sebagai sumber minyak mentah bagi negara.

Hingga saat ini, dua perusahaan Migas masih setia mengolah isi perut bumi di sana. Tanah raja-raja kian kemari kian berharga bagi negara.

Tapi apa boleh buat, realita dan kenyataan sejarah tidak cukup memberi kemudahan untuk anak negeri ini. Minyak bumi hasil garapan tanah Seram mengalir sampai jauh. Sedangkan yang kembali ke tanah Maluku sudah terpasung kebijakan berupa kuota dan harga.

Fakta itu tidak bisa terbantahkan. Dalam sepekan ini, sejumlah ibu rumah tangga di Kota Ambon, dibuat linglung, kemana harus mencari minyak tanah.

Kelangkaan ini terjadi bukan tanpa sebab. Tahun 2021, pemerintah telah menjatahkan Maluku dengan kuota minyak tanah sebanyak 3.226 kiloliter.

Kondisi itu, kini berbalik, hanya ada separuh kuota yakni sebanyak 102.774 kiloliter yang dijatahkan BPH Migas untuk Maluku.

Anehnya, PT. Pertamina berpendapat penurunan kuota minyak tanah oleh BPH Migas itu terjadi karena berpatokan pada realiasi penyaluran BBM jenis minyak tanah maupun kondisi dan penilaian di tahun sebelumnya.

Faktanya, masyarakat Maluku saat ini belum beralih atau melakukan konversi BBM ke penggunaan bahan bakar gas.  Tentu banyak nian alasan yang bisa diurai, salah satunya kondisi geografis Maluku yang cukup sulit, sehingga masih memerlukan waktu yang lama untuk dilakukan konversi BBM ke gas.

Tegah nian pemerintah melukai hati anak negeri ini. Sebab cukup banyak sayatan pedang kebijkan melukai bahkan menyayat kalbu orang Maluku.

Dari laut, darat hingga perut bumi Maluku tetap setia menyangga kokohnya Negara sejak ratusan tahun silam.  Bahkan Maluku tidak saja menjadi lumbung bagi negara, tapi juga menjadi pencetus berdirinya Bangsa dan Negara ini lewat tangan dan pikiran The Founding Fathers (*)