Catatan : dhino pattisahusiwa

Kisah ini berawal di Desa Rumbati, [kini Kecamatan Furwangi, Kabupaten Fakfak,  Provinsi Papua Barat] pada tahun 1283 Masehi. Sebuah keluarga kerajaan dirundung malang, lantaran berkonflik dengan seorang kapitang [orang perkasa] yang dikenal dengan sebutan Hua Meseng.

Sang raja bernama Patiran, tidak mau anak perempuannya Poimasa,  jatuh ke tangan Hua Maseng. Kapitang yang dikenal begis dan jahat. Raja Patiran bersih kukuh menolak pinangan Hua Meseng.

Anak gadisnya Poimase pun demikian. Poimase adalah anak perempuan dari 10 bersaudara. Sebagai keluarga kerajaan, Raja Patiran begitu tegas mengajarkan anak-anaknya dengan hal-hal kebaikan. 

Mereka menjadi keluarga yang cukup kuat memegang teguh prinsip hidup dengan kasih sayang sesama saudara mereka.

Hingga satu saat, prahara pun tiba. Kapitang Hua Maseng datang dan ingin meminang Poimase yang kemudian memicu konflik di kerajaan dengan sang kapitang.

Sebelumnya, putra-putra Raja Patiran sudah banyak terpencar di beberapa tempat. Lima dari meraka dikenal sebagai orang-orang perkasa dan sakti lebih dulu mendiami Nusa Iha, [Pulau Saparua].

Kelima putra raja ini, dikenal dengan nama  Nunu Mahu, Tablele, Haris Hamza, Musa Harimullah yang bergelar Kapitan Kawal dan Mananeuna.  Saat konflik Raja Patiran dengan Kapitang Hua Maseng, kelima anak raja ini sudah tidak berada di Rumbati.

Saat itu, Raja Patiran hanya hidup bersama empat anaknya, Hahosan, Maspait, Merah Lau dan Poimasa. Konflik yang dipicu pinanangan Hua Maseng pun membuat, keempat anaknya itu memutuskan untuk meninggalkan tanah Rumbati.

Keempat anak Raja Patiran ini sepakat meninggalkan tanah Rumbati untuk menghindari konflik dan juga dengan tujuan mencari keberadaan lima saudara mereka yang kabarnya sudah mendiami Nusa Iha.

Sebagai orang-orang yang dikenal sakti di zamannya, proses mencari saudara-suadara mereka yang terpisah jauh di pulau-pulau itu, tidaklah manjadi masalah.

Ketika fajar menampakkan sinarnya di tanah Rumbati, Hahosan alias Abuasa, Maspait alias Aliwanta, Merah Lau dan Poi Masa alias Nyai Intan, pun kemudian bergegas meninggalkan kerajaan Rumbati yang dipimpin ayah mereka.  

Tiga laki-laki perkasa dan satu srikandi.  Mereka diuji dengan segala macam tantangan dan rintangan. Bagi mereka harga diri keluarga adalah segalahnya. Meskipun harus hijrah meninggalkan kampung halaman dan kedua orang tua. 

 

Gambar : Ilustrasi

Perih rasanya.  Sang Raja hanya bisa pasrah menerima keputusan empat anak mereka yang ingin berlayar meninggalkannya.

Konon di zaman para datuk-datuk ini, kesaktian mereka tak bisa diragukan. Apa yang diinginkan maka akan terwujud, ‘kun faya kun’ (jadi maka jadilah). 

Abuasa sebagai anak tertua akhirnya turun ke pantai.  Ia kemudian menggambar sebuah perahu (poli-poli) di atas pasir yang akhirnya saat air pasang, gambar poli-poli itu berubah menjadi nyata dan mengapung di atas air laut.

“Turu lau haito aru laino nepayuna poli-poli, Hi inu sengge yara laa malu-malu, Sooto sa’a tana poli-poli, Poli – poli se emanu laa oo. Timi hatu waiye loto yoni nepapua. Latu taha muli umarole sawa waelo mara bone oo,” demikian bunyi kapata dengan bahasa tanah mengisahkan peristiwa tersebut.