Ini adalah bunyi perintah yang artinya : “Turunlah ke tepi pantai, gambarlah sebuah perahu di atas pasir, tunggulah hingga air pasang yang merubahnya menjadi sebuah perahu. Perahu sudah terampung, naiklah ke atas perahu dan tariklah batu sauh dan  berangatlah kita,”  

Kisah ini menjadi catatan sejarah yang terus diabadikan dalam kapata-kapata tanah oleh warga Siri Sori Islam hingga generasi kini.

Mencari Tanah Nusa Iha

Perjalanan dengan menumpangi poli-poli pun berlangsung di hari itu. Ke-empat anak raja ini, berlayar membelah laut. Nusa Papua dan tanah Rumbati sudah tampak jauh dari pandangan.

Poli-poli dengan kekuatan kesaktian anak-anak raja ini makin melaju hingga tampak Nusa Ina [ Pulau Seram]. Mereka terus mendayung secara estafet menyinggahi sejumlah tempat.

Anak-anak raja ini sempat singgah di beberapa wilayah yang meliputi,  wilayah Seram Laut,  Pulau Geser,  Guslau dan Hatumete di [kini Kabupaten SBT].  

Kemudian berlanjut ke Seram Selatan yang meliputi,  Pantai Salaiku di Negeri Haya, pantai Hatumari di negeri Tamilou dan  Tanjong Koako di Desa Amahai.

Rombongan anak raja ini, harus terhenti di bibir pantai.  Di daerah Tanjong Koako, tepatnya di Air Nua (Waenua), Amera Lau kemudian bergegas turun dari poli-poli. Dalam kisah ini, Amera Lau disebut turun mencari kusu [Makello].     

 

Senja di Pantai Negeri Siri Sori Islam

Saat berada di tempat itu, empat anak Raja Patiran  kemudian bertemu dengan sosok orang baik bernama  Kapitan Tihirua yang juga dikisahkan sebagai seorang Imam bernama Zainal Abidin Al-Idrus.

Tanpa berpikir panjang. Saudara mereka Amera Lau akhirnya meminta kepada tiga saudaranya untuk ikut bersama Kapitan Tihirua. Ia lalu menetap di tempat yang kini dikenal dengan Negeri Sepa,  Kecamatan Amahai.

Oleh Kapitan Tihirua, Amera Lau kemudian diangkat manjadi malesi (pengawal) dan diberi gelar Nuo Huruwo (putra/kapitan).

Keheningan perjalanan dan sapuan angin laut, serasa semakin menambah pilu di hati Hahosan, Maspait dan Poimase.  Mereka bertiga tetap setia dengan niat menemukan Nusa Iha. Kehilangan saudara bukan menjadi penghalang. 

Perjalanan dengan poli-poli terus dilakukan hingga mereka kembali menepi di Tanjung Sial [kini Seram Bagian Barat]  atau tanah Huamual. Tiga anak raja Patiran, kembali bertemu dengan seseorang yang dikenal sebagai  Kapitan Tanjung Sial.

Mereka lalu bertanya.  “Dimana letak Nusa Iha,”? tanya Hahosan.

Kapitan Tanjung Sial kemudian menjawab mereka. Sekaligus meminta orang dekatnya yang dikenal dengan sebutan Latu Soumete sebagai penunjuk jalan menuju Nusa Iha.

“Latu Soumete, tolong kamu antar mereka menuju Nusa Iha,” pinta Kapitang Tanjung Sial.

Atas perintah itu, Soumete pun bergegas naik ke poli-poli dan bersama berlayar sebagai menunjuk jalan ke Nusa Iha.  Hingga akhirnya tiga anak raja ini, bisa sampai di pantai Honimua di Negeri Liang [Salahutu] dan berlanjut ke Tanjong Pesirolo (batu kapal) Pulau Haruku.

Berpisah dengan Poimase

Cobaan demi coba terus mengusik. Perjalanan menuju Nusa Iha terus dibayar dengan pilu. Giliran Poimase harus ‘terjun’ ke laut meninggalkan dua saudara laki-laki yang disayanginya. 

Poimase rela mengikuti  permintaan pengawal kapitan Hua Meseng yang saat itu menghalangi perjalanan mereka. Konon penampakkannya berupa Husamaulo (seekor ikan paus).

Segala upaya dilakukan Hahosan dan Maspait untuk mengelabui Husamaulo, bahkan kedua saudara laki-laki Poimase sempat membuang kayu yang menyerupai manusia, tapi akhirnya usaha itu pun kandas.  Poimase harus berpisah. Ia menyerah mengikuti keinginan Husamaulo.   

“Abuasa dan Aliwanta dua saudaraku. Jangan hiraukan saya, turunkan saya segera untuk memenuhi permintaan Husamaulo, “ucapan ikhlas yang sungguh membuat kedua saudaranya terpukul. Cerita Poimse pun berakhir di Tanjong Pesirolo.