BERITABETA.COM – Sebuah riset kini dalam proses perampungan, dilakukan para peneliti di Balai Penelitian Rempah dan Obat (Balitro) Kementerian Pertanian. Para peneliti di Balitro tengah meneliti minyak yang bersumber dari spesies pohon yang banyak di temukan di hutan Indonesia untuk obat virus Corona. Pohon dimaksud adalah  ‘Eucalyptus Deglupta’.

Pohon Eucalyptus Deglupta dapat mengeluarkan warna pelangi yang berasal dari tetesan getahnya. Pohon ini adalah satu-satunya spesies ‘Eucalyptus’ yang ditemukan secara alami di belahan bumi utara.

Penyebaran alaminya meliputi Britania Raya, Papua Nugini, Pulau Seram,Maluku, Pulau Sulawesi dan Mindanao.  Di Pulau Seram, pohon ‘Eucalyptus’ banyak ditemui tumbuh bebas di hutan,  dan oleh warga setempat dikenal dengan sebutan pohon ‘loreng’.

Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Kementerian Pertanian, Evi Safitri ketika berbicara dalam webinar Rempah-rempah, Pengetahuan Medis, dan Praktik Kesehatan di Indonesia bahwa, tahapan terkini dari uji minyak Eucalyptus itu sudah sampai molecular docking, mencocokkan ke virus, dan sudah pula diuji pada sel terinfeksi virus itu di laboratorium (in vitro).

“Hasil uji in vitro, 60 hingga 80 persen virusnya mati. Tapi memang virusnya bukan (penyebab) Covid-19, kami coba ke virus corona lain,” kata Evi Safitri dalam forum yang digelar Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta itu, Selasa (5/5/2020).

Evi menerangkan penambatan molekul atau molecular docking adalah metode komputasi bertujuan meniru peristiwa interaksi suatu molekul ligan dengan protein yang menjadi targetnya pada uji in vitro.

Balitro, kata dia, telah mencoba meneliti sejumlah tanaman rempah dan obat untuk dapat digunakan mengatasi Covid-19.

Beberapa di antaranya jahe merah, kunyit, temulawak, kayumanis, cengkeh, kulit jeruk, jambu biji, meniran, sambiloto, seraiwangi, eukaliptus, kayuputih, minyak kelapa murni atau VCO.

Menurut Evi, sebenarnya, ada banyak jenis tanaman yang memiliki potensi untuk pengobatan. Terlebih Indonesia berada diperingkat tiga negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.

Namun, baru sekitar 300 jenis tanaman yang sudah diteliti atau dimanfaatkan untuk pengobatan.

“Itu pun kebanyakan baru sampai level jamu,”jelasnya.

Evi mengatakan, belum banyak tanaman rempah yang dikembangkan untuk menjadi obat modern. Tahapannya pun sangat panjang, karena harus melewati uji empiris yang setidaknya tercatat sudah tiga generasi tanaman obat atau rempah tersebut bisa mengobati.

Selanjutnya, kata Evi, calon obat tersebut harus melewati uji in vitro dan in vivo sebelum akhirnya harus melalui uji klinis. Tahapan uji klinis pun tidak mudah karena setidaknya ada empat tahap dengan kisaran diujikan ke 100 orang.

“Jadi jalannya masih sangat panjang,” ujar Evi.

Atas temuan ini, Guru Besar Biologi Molekuler dari Universitas Airlangga (Unair) Chairul Anwar Nidom mengingatkan agar  hasil pengujian minyak Eukalyptus sebagai anti-virus corona harus dilanjutkan oleh pihak Balitro Kementerian Pertanian.

“Kalau menunjukkan hasil yang prospektif, baik sebagai bahan sanitasi, desinfeksi atau antiviral, sebaiknya risetnya diteruskan sampai tuntas, sebagai antiviral pada sel makhluk hidup bukan hanya pada sel yang ada di cawan lab,” ujar Chairul Anwar Nidom seperti dikutip beritabeta.com dari  tempo.co, Rabu (06/5/2020).

Nidom yang juga Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin di Professor Nidom Foundation (PNF) menyebut bahwa itu merupakan temuan awal yang bagus.

“Harus diselesaikan dengan dukungan dana riset, fasilitas dan SDM yang unggul,” katanya.

Nidom menerangkan bahwa penelitian Eukalyptus menjadi kabar yang menggembirakan karena bahan alami Indonesia menjadi ramai-ramai diteliti dan diuji untuk mengatasi penyakit, baik yang disebabkan oleh virus, bakteri atau lainnya, khususnya potensi terhadap Covid-19.

“Saat ini upaya penelitian bahan alami Indonesia sebagai bahan anti Covid-19 lebih ramai dibanding di luar negeri. Ini dipicu oleh adanya fakta bahwa empon-empon bisa dijadikan antiviral,” tutur Nidom.

Lulusan dokter hewan IPB University itu menegaskan, penelitian dan pengujian bahan alam Indonesia jangan hanya berhenti sebagai bahan penyegar tubuh, imunomodulasi atau sebagai bahan level dasar. Namun, dia mengusulkan agar dieksplorasi sampai ditemukan kandungan dan khasiat yang spesifik.

Oleh karena itu, Nidom berujar, para peneliti bahan alami harus bergandengan tangan dengan para peneliti penyakit dan kuman penyakit (patogen), serta ditingkatkan dengan fasilitas riset yang canggih (BB-DIP)