Oleh : Muh. Kashai Ramdhani Pelupessy (Dosen Psikologi di Bimbingan Konseling Islam, IAIN Ambon)

BELAKANGAN ini, upaya pencegahan COVID-19 telah menarik perhatian para ilmuwan di berbagai negara. Ada dua hal yang menjadi fokus para ilmuwan yakni upaya mencegah proses penyebaran serta dampak dari COVID-19. Banyak peneliti cenderung melihat dari perspektif medis, ekonomi, sosial, hukum, dan psikologi.

Seperti penelitian psikologi, hampir banyak fokus pada dampak dari COVID-19 terhadap kondisi psikologis seseorang, yakni cemas, depresi, dan stres. Beberapa survei telah di lakukan untuk mencari tahu seberapa besar perasaan cemas yang di derita masyarakat, serta bagaimana cara untuk mengatasinya. Hasil-hasil survei itu bisa menjadi rekomendasi bagi para pengambil kebijakan yakni pemerintah.

Ada penelitian menarik tentang psikologi yang di lakukan oleh Yuan Wang, dkk (2020) dengan judul “Study on the Public Psychological States and its Related Factors During the Outbreak of COVID-19 in Some Regions of China”. Meskipun penelitian ini di lakukan di China beberapa bulan lalu, tapi kita bisa petik rekomendasi kebijakannya.

Awalnya, peneliti menyebarkan 605 kuesioner kepada masyarakat dari 6-9 Februari 2020 lalu. Alat ukur psikologis yang di gunakan peneliti tersebut ialah Self-Rating Anxiety Scale (SAS) dan Self-Rating Depression Scale (SDS). Hasil sebaran data kemudian di analisis menggunakan Teknik Analisis Berganda dengan alat bantu software SPSS versi 23.

Berdasarkan hasil analisis di temukan bahwa (93,67%) responden China mengalami cemas tinggi, (5,67%) cemas ringan, dan (0,67%) cemas sedang. Di samping itu, hasil survei juga menunjukkan bahwa ada (82,83%) subjek mengalami depresi tinggi, (14,33%) depresi ringan, (2,5%) depresi sedang, dan (0,33%) mengalami tekanan psikologis yang parah.

Selain itu, di lihat dari jenis kelamin, subjek perempuan lebih tinggi mengalami kecemasan daripada laki-laki. Dan rasio kecemasan lebih tinggi dialami kelompok usia 40 tahun ke bawah daripada usia 40 tahun ke atas.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti kemudian melakukan diskusi internal, yakni mengkaji kondisi psikologis di lihat dari berbagai teori psikologi. Peneliti mengemukakan bahwa karena wabah COVID-19 merupakan penyakit menular, sehingga hal ini pasti menimbulkan kecemasan, stres, dan depresi yang dirasakan setiap individu.

Dengan pembatasan kegiatan sosial dalam periode waktu tertentu, dapat mengakibatkan seseorang mengalami stres dan cemas. Hal ini karena berlawanan dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Pembatasan sosial juga mengakibatkan individu mengalami perasaan kehilangan kepercayaan dalam menjalani hidup.

Stres merupakan gejala saraf otonom dan sistem endokrin. Biasanya, gejala individu mengalami stres ialah detak jantung berdegup cepat/kencang, tekanan dara naik, gula darah meningkat, gangguan nafsu makan, pencernaan terganggu, gangguan tidur, sakit kepala, dan lain-lain.

Respon emosional ketika individu mengalami stres ialah depresi, cemas, panik, kecewa, dan takut. Perilaku yang muncul ialah gelisah, kurang perhatian/tidak fokus, berkurangnya kemampuan menyelesaikan masalah, sering marah, dan mudah sedih.

Berdasarkan temuan tersebut, maka peneliti mengusulkan rekomendasi kebijakan yang harus di ambil pemerintah ialah dengan lebih menginformasikan bahwa ada pasien COVID-19 yang bisa sembuh dari virus tersebut. Sebaran informasi ini sangat penting untuk mengurangi tingkat cemas, depresi, dan stres publik.

Selain itu, pemerintah juga harus mengedukasikan bahwa belajar dari angka kematian akibat COVID-19, maka masyarakat harus memiliki proteksi diri yang baik. Yakni, dengan selalu menggunakan masker saat berada di luar rumah, sering cuci tangan, dan hidup bersih. Edukasi ini penting untuk mengurangi gejala stres publik.

Pemerintah juga harus memberikan layanan keamanan melalui aplikasi elektronik seperti smartphone dan/atau WeChat (Whatsapp, dll) untuk memberikan konseling psikologis kepada publik. Melalui cara ini, maka pemerintah dapat membantu meringankan gangguan psikologis publik akibat wabah COVID-19.

Alhamdulillah, saat ini, konseling psikologis elektronik tersebut mulai di terapkan. Pemerintah bekerjasama dengan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) telah menyediakan Layanan Psikologi untuk Sehat Jiwa (SEJIWA) demi membantu masyarakat yang mengalami gangguan psikologis akibat wabah COVID-19.

Masyarakat bisa menghubungi 199 ext 8 untuk mendapatkan bantuan psikologis dari relawan psikologi dari HIMPSI. Layanan psikologi ini terbuka lebar untuk siapa saja. HIMPSI Maluku bekerjasama dengan POLDA setempat juga sudah mulai memberikan layanan psikologis tersebut.

Terakhir, dan ini paling penting, yakni pemerintah harus mengedukasikan bahwa dalam sejarah pernah juga terjadi wabah yang sukses di lewati oleh manusia pada zamannya. Informasi ini penting karena dapat menekan angka kepanikan yang di alami publik.

Kenapa pemerintah harus mengedukasikan hal tersebut? Jawabannya, di samping media (surat kabar/elektornik) memainkan peran, ialah karena pemerintah sebagai sumber kepercayaan informasi dari masyarakat, sehingga mau-tidak-mau edukasi terkait hal tersebut sangat penting.

Hal itu merupakan propaganda resmi agar masyarakat tidak mengalami cemas dan depresi akibat wabah COVID-19. Sekian ulasan penelitian psikologi, semoga rekomendasi kebijakan dari hasil penelitian ini bermanfaat bagi semuanya (***)