Sagu di Tengah Wabah Covid-19 dalam Perspektif Psikologi Indigenous
Oleh : Muh. Kashai Ramdhani Pelupessy (Dosen Psikologi di Jurusan Bimbingan Konseling Islam, IAIN Ambon)
MALUKU menyimpan alam yang eksotis. Ada pantai pasir putih Liang. Pulau Molana yang indah. Sunset teluk Ambon yang megah. Dan puncak Binaya, cocok untuk para pencari ketenangan. Keindahan alam Maluku, alhamdulillah, belum terjamah kaki-kaki usil. Belum terjajah oleh para “penikmat alam”, yang tendensinya hanya merusak alam.
Maluku, termasuk salah-satu provinsi seribu pulau di Indonesia. Setiap gugusan pulau diselimuti hutan lebat. Jangan heran, Dowes Dekker mengistilahkan, zamrud khatulistiwa. Mungkin karena itu juga, bung Pramoedya mendapat inspirasi di Pulau Buru. Warna hijau sangat menenteramkan mata. Cocok untuk para pencari gagasan peradaban demi masa depan yang gemilang.
Sembilan puluh persen wilayah Maluku ialah laut. Laut punya sifat tersendiri. Ulasan kang Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna, bahwa salah-satu sifat laut ialah menyerap dan membersihkan.
Kata “menyerap” berarti terbuka menerima pandangan yang berbeda dan “membersihkan” ialah meniadakan hal-hal yang dapat merusak siklus kehidupan masyarakat. Sifat laut ini relevan dengan watak orang Maluku.
Selain menyimpan alam yang indah dan sifat kelautan, kuliner orang Maluku juga mengandung sisi psikologis tersendiri. Apalagi di masa pandemik sekarang ini. Makanan khas orang Maluku ialah sagu, punya nilai intrinsik unik dan menarik untuk di bahas sekarang. Sagu (metroxylon) merupakan tanaman asli Indonesia yang tergolong jenis palem. Indonesia memiliki lahan sagu terbesar di dunia, yakni 2,21 juta hektar dan 94.494 hektar di antaranya ada di Maluku.
Ada lima jenis pohon sagu di Maluku yakni sagu tuni, sagu ihur, sagu makanaru, sagu duri rotan, dan sagu molat. Biasanya, sagu diolah menjadi papeda, sagu lempeng, bagea, sagu tumbu, dan sinoli. Hasil olahan ini diambil dari pati batang pohon sagu. Sepuluh tahun belakangan, sagu telah mengalami proses modernisasi. Proses ini melahirkan olahan sagu menjadi bolu, brownies, pizza, stick sagu, bakso, dan sun (makanan bayi).
Artinya, meskipun kuliner orang Maluku telah mengalami proses modernisasi, namun tetap mempertahankan sagu sebagai primadona utamanya. Orang Maluku biasanya makan sagu ditemani secangkir kopi hangat atau teh. Sedangkan, untuk makan popeda biasanya di kombinasikan dengan kuah ikan segar dan sayur.
Jika dilihat dari perspektif psikologi indigenous, makanan sagu ini mengandung makna psikologis tersendiri. Sisi psikologis dari makanan sagu menggambarkan sikap tegak dan tegar; berkarakter kuat seperti kulit pohon sagu, tapi dibalik itu memiliki hati yang baik dan bersih seperti pati batang pohon sagu.
Dalam situasi pandemik Covid-19 sekarang ini (wabah pasti berlalu), kita harus berjiwa tegar dan berkarakter kuat. Kalau tidak, kita akan selalu dihantui ketakutan dan kecemasan.
Apalagi, akan diberlakukan new normal. Setiap orang akan kembali berinteraksi seperti biasanya, dengan syarat mematuhi protokol kesehatan. Situasi ini pasti menimbulkan efek psikologis bagi setiap individu yang baru lepas dari jeruji (stay at home).
Tidak menutup kemungkinan, bahwa kembali berinteraksi dalam situasi wabah akan menimbulkan ketakutan. Berpapasan dengan orang nanti saling lirik-lirik. Apalagi berpapasan dengan orang yang tiba-tiba batuk, semua mata akan tertuju kepadanya.
Gejala itu merupakan gejala ketakutan, kekhawatiran, dan kecemasan. Untuk mengatasi kecemasan, setiap orang harus punya karakter kuat seperti pohon sagu. Di samping itu, harus juga berjiwa soft (ikhlas menerima keadaan) seperti pati batang pohon sagu.
Dalam beberapa penelitian psikologi, seperti dilakukan Tingting Li dkk tahun 2017, menemukan bahwa kekuatan karakter (character strength) dapat mengatasi kecemasan sosial. Hal ini karena di dalam kekuatan karakter ada aspek regulasi diri.
Individu yang dapat mengatur dirinya sendiri pasti punya karakter kuat, tahan banting dalam situasi pandemik. Artinya, tidak cemas dan khawatir. Lebih ikhlas menerima keadaan, dengan selalu ikhtiar mematuhi protokol kesehatan.
Itulah makanan sagu dilihat dari perspektif psikologi, yang keberfungsiannya dapat diejawantahkan untuk menghadapi situasi wabah sekarang ini. Kami pikir, makanan sagu ini dapat memberi sedikit inspirasi ketenangan bagi setiap individu yang sedang ditimpa kecemasan akibat wabah Covid-19 (***)