Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST (Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara)

KETIKA mempunyai banyak uang dan bingung mau menyimpannya dimana. Bank adalah solusinya. Pun sebaliknya, ketika kita sedang kekurangan uang. Bank juga banyak menjadi pilihan masyarakat untuk meminjam uang alias kredit.

Masyarakat Indonesia, nampaknya sulit untuk lepas dari perbankan karena perannya yang sangat sentral dalam perekonomian saat ini. Karena, selain kedua fungsi di atas bank memiliki fungsi yang lain dan tidak kalah penting. Diantaranya adalah transfer uang.

Di zaman yang serba modern ini, memindahkan uang dari satu tempat ke tempat yang lain tak perlu lagi membutuhkan waktu yang lama. Serta lebih aman. Budaya mengirim uang melalui pos, bisa dibilang sudah tidak ada lagi saat ini. Masyarakat sudah berpindah ke bank untuk melakukan pengiriman uang. Baik itu melalui ATM ataupun tunai.

Contoh lainnya, coba kita lihat sistem penggajian para pegawai kantoran zaman now. Kebanyakan dari mereka, sudah tidak lagi menerima uang yang terbungkus amplop lagi. Lagi-lagi sudah lewat ATM.

Menjamurnya online shop, juga menambah penting peran dari bank. Para penjual dan pembeli yang tidak saling tatap muka bisa melakukan kegiatan jual beli dengan sangat nyaman. Ya, melalui pembayaran transfer lewat bank.

Selain itu, bank juga berperan sebagai tempat penyimpanan barang dan surat berharga. Penyimpanan ini biasanya dalam bentuk safety box. Dimana, biasanya nasabah membayar biaya sewa safety box tersebut dalam jangka waktu tertentu.

Pelayanan yang didapatkan adalah kunci safety box, tempat menyimpan surat berharga, emas dan lain sebagainya. Namun, saat ini kita sedang berduka ditengah pandemi.

Hampir semua sektor lapangan usaha nampaknya terkena imbasnya, termasuk perbankan. Dari sekian banyak fungsi bank, nampaknya yang paling dominan adalah pemberian kredit. Dan kemungkinan besar, kebijakan mengenai kredit menjadi hal yang sangat ditunggu masyarakat saat ini, ya pendapatan berkurang karena pandemi.

Hasil Evaluasi Instansi Terkait

Bank Indonesia mengevaluasi berbagai sektor lapangan usaha. Termasuk di dalamnya subsektor bank. Hasil evaluasi Bank Indonesia pada triwulan I 2020 menunjukkan bahwa kegiatan usaha subsektor bank mengalami perlambatan.

Hal tersebut ditunjukkan oleh Saldo Bersih Tertimbang (SBT) subsektor bank yang menyentuh angka 1,45%. Angka tersebut lebih rendah dari triwulan IV 2019 yang terakselerasi dengan SBT 2,45%.

Berdasarkan prediksi Bank Indonesia, nampaknya hal ini masih akan berlanjut pada triwulan II 2020. Subsektor bank akan kembali mengalami perlambatan kegiatan usaha. Ditunjukkan dengan SBT lebih rendah dari triwulan I 2020, yang mencapai 0,75%.

Tetapi pada sisi realisasi penggunaan tenaga kerja, subsektor bank mengalami peningkatan dari triwulan IV 2019. Ditandai dengan SBT yang mengalami peningkatan mencapai angka 0,63%. Realisasi tenaga kerja tersebut meningkat jauh dari triwulan IV 2019, yang masih mencapai angka 0,47%.

Sama persis dengan triwulan I 2020. Ramalan kegiatan usaha pada triwulan II 2020 oleh Bank Indonesia juga memprediksi bahwa realisasi penggunaan tenaga kerja pada triwulan II 2020 tetap sama dibandingkan triwulan I 2020. Hal tersebut ditunjukkan dengan SBT yang mencapai 0,63%.

Dari sisi kredit, Bank Indonesia melaporkan bahwa pertumbuhan kredit baru mengalami perlambatan pada triwulan I 2020. Hal tersebut ditunjukkan oleh SBT yang hanya mencapai 23,7%. Sedangkan pada triwulan IV 2019 SBT mencapai 70,6%. Dan jika dikelompokkan berdasarkan jenis penggunaan, penurunan terbesar dialami oleh kredit konsumsi.

Namun, pada triwulan II 2020, diperkirakan kebijakan penyaluran kredit lebih longgar. Ditandai dengan Indeks Lending Standard yang lebih rendah dari triwulan I 2020, yaitu mencapai 9,1%. Sedangkan triwulan I 2020 mencapai 10,9%.

Saran Kebijakan

Kredit memang seakan menjadi jalan pintas bagi masyarakat yang punya kemauan besar tapi kemampuan nol besar. Kita lihat saja, mereka para pedagang yang memulai usahanya dengan modal mengajukan kredit dari bank. Jangankan berharap mendapatkan keuntungan. Setiap harinya, mereka berjualan demi untuk bisa membayar bunga bank yang terus berjalan tagihannya.

Apalagi saat pandemi seperti ini. Apa yang mereka dapatkan tiap harinya, tentu tidak akan sama lagi. Banyak konsumen yang memilih untuk membeli barang secara online demi menghindari virus.

Lalu, akankah cukup yang mereka dapatkan untuk membayar cicilan kredit modal usaha? Tentu tidak. Efeknya, pemerintah pun harus turun tangan untuk menerapkan kebijakan pelonggaran kredit bagi mereka yang terganggu atau terhenti usahanya selama pandemi Covid-19 ini.

Seharusnya, kita mengambil hikmah dari pandemi Covid-19 ini. Pandemi ini mengingatkan kita bahwa sistem kredit yang kita terapkan selama ini punya kekeliruan. Utamanya pada penetapan bunga pinjaman pada akadnya. Dan ini sudah terbukti, bahwa masyarakat kesulitan untuk membayar bunga pinjaman pada saat ini.

Ya itulah resikonya jika meminjam sekian dibayar berlebih sekian. Faktor inflasi bukan alasan, karena seharusnya yang namanya pinjam meminjam itu adalah tolong menolong. Tidak benar rasanya, jika ada pihak yang mengambil keuntungan dari tolong menolong. Sebaiknya, sistem kredit yang diterapkan selama ini, kita ubah ke dalam sistem jual beli.

Karena jual beli akadnya jelas dan tidak ada yang teraniaya dari hal tersebut. Misalkan, si A ingin membeli rumah seharga Rp 100 juta. Dia ingin mengajukan kredit di bank karena tidak punya uang yang cukup. Nah, dari sini baiknya bank sebagai penghimpun dana membeli rumah tersebut terlebih dahulu.

Kemudian menjual kepada si A dengan harga lebih besar, yang sudah disesuaikan dengan inflasi dan keuntungan, sebut saja Rp 150 juta. Namun, si A bisa mencicil kepada bank dengan jangka waktu tertentu, tanpa ada pertambahan nominal sesuai dengan akad. Sangat sederhana dan kedua belah pihak sama-sama untung. Terima kasih pandemi. Segeralah pergi. Kami ingin hidup normal kembali (***)