Sagu Nasibmu Kini

Hari Senin kemarin 24 September adalah Hari Tani Nasional, ternyata peringatan hari ini mengelitik juga nuraniku saat bersantap sore dengan sagu dan segelas teh manis sebagai pelengkapnya, saya juga tidak akan berfilosofi tentang musabab Hari Tani itu sendiri walau folosofi yang tertangkap adalah petani dan hari petani ialah ibarat petani dengan cangkulnya yang seakan tak terpisahkan, karena setiap sektor masyarakat pastilah mempunya harin yang bersejarah.

Kembali tentang sagu dan hari Tani ini, saya jadi teringat dengan tulisan teman saya Wasahua (2017) tentang Quo Vadis Sagu di Malukudi salah satu media online, dalam tulisannya ia berujar dalam suatu kegiatan TV nasional yang mengakses informasi di Brunei Darussalam, ternyata sagu atau papeda menjadi salah satu makanan favorit hotel berbintang lima.

Ini kontradiksi dengan asumsi pemikiran masyarakat Maluku saat ini yang mulai menganggap bahwa sagu atau papeda hanyalah makanan sambilan dan bukan suatu makanan yang memiliki nilai gengsi. Lebih-lebih lagi ketidaktahuan masyarakat maluku termasuk elitisnya tentang kandungan gizi dan kalori yang dikandung oleh sagu.

Mayoritas masyarakat kita beranggapan bahwa sagu tidak memiliki nilai gizi signifikan dibanding beras atau terigu, walau riset menunjukan fakta yang sebaliknya dengan Padahal Nutrisi yang terkandung dalam sagu terbilang lengkap. Yang paling dominan adalah karbohidrat murni dalam jumlah yang banyak. Terkandung pula protein, mineral, dan vitamin.

Dalam 100 gram sagu kering, karbohidrat yang terkandung didalamnya adalah 94 gram, protein 0,2 gram, serat makanan 0,5 gram, zat besi 1,2mg, dan kalsium sebanyak 10 mg. Dalam 100 gram sagu, terdapat 355 kalori.

Di kehidupan sehari-hari kini, kita mulai menyaksikan sebagian besar penduduk Maluku yang hidup diperkotaan mulai berkurang mengkonsumsi sagu, tak heran sagu pun menjadi barang mewah. Kemewahan sagu walaupun masih terjangkau  bukan pada nilai beli sagunya mulai beranjak naik, tapi pada keinginan untuk mengkonsumsi yang mulai berkurang dan  tergantikan oleh beras.

Padahal menurut Jong dan Wijono (2015) dalam “Sagu potensi Besar Pertanian Indonesia” mengatakan Sagu telah lama menjadi sumber utama karbohidrat masyarakat di beberapa wilayah nusantara. Bila dikembangkan pemanfaatannya sebagai bahan pangan pokok, komoditas ini dapat mengatasi masalah ketahanan pangan nasional.

Angka-angka itu menjadi bukti kegagalan kita dalam menjaga keunggulan yang ada, tampaknya pameo sagu menjadi makanan pokok orang Maluku menjadi sesuatu yang tidak lagi mutlak, disertai kekagetan kita ketika masyarakat yang bukan penikmat sagu bisa memanfaatkan lebih, seperti halnya di riau Sagu menjadi primadona Ekspor.

Dalam peta sebaran sagu yang dilansir situs resmi Kementerian Pertanian (Kementan, 2016), disebutkan, pohon sagu yang hidup di hutan alam mencapai 1,25 juta ha dengan rincian 1,20 juta di Papua dan Papua Barat dan 50 ribu ha di Maluku.

Sedangkan pohon sagu yang merupakan hasil semi budidaya (sengaja ditanam/semi cultivation) mencapai 158 ribu ha dengan rincian 34 ribu ha di Papua dan Papua Barat, di Maluku 10 ribu ha, di Sulawesi 30 ribu ha, di Kalimantan 20 ribu ha, di Sumatera 30ribu ha, di Kepulauan Rau 20 ribu ha, dan di Kepulauan Mentawai 10 ribu ha.

Namun arti penting sagu lebih pada potensinya yang besar sebagai penghasil pati untuk industri. Menurut jong dan Wijono (2015) Kebutuhan pati bagi industri dunia saat ini sekitar 50 juta t/tahun dengan laju pertumbuhan 7,7%/tahun.

Dalam kondisi harga minyak bumi yang terus melambung serta tekanan pelestarian lingkungan, pati semakin diperlukan untuk menghasilkan produk ramah lingkungan seperti plastik organik dan ethanol.

Sagu merupakan penghasil pati yang jauh lebih efisien dibanding komoditas penghasil pati lain, dan dengan kelimpahannya, pemanfaatannya untuk industri tidak menganca m ketersediaannya sebagai pangan. Sekitar 50% potensi sagu dunia ada di Indonesia,

Karena itu Indonesia mempunyai peluang amat besar untuk menjadi pelopor dalam modernisasi industri pengolahan sagu. Pemanfaatan potensi sagu yang begitu besar di Indonesia akan menguntungkan secara ekonomis, budaya, lingkungan, dan politik. Untuk mengembangkan sagu nasional, dukungan dan kerja sama pemerintah, swasta, dan masyarakat setempat amat diperlukan. sagu ternyata membawa peranan penting bagi ketahanan pangan, kemandirian pangan dan kedaulata pangan bagi orang maluku sepanjang sejarah.

Bayangkan eksistensi sagu telan turut berperan dalam memenuhi sumberdaya pangan lokal yang kemudian menjadi salah satu inspirasi bagi pembentukan tatanan pranata sosial masyarakat Maluku.

Tak heran tangan dingin dan kemauan Pemerintah Pusat dan daerah dengan segala upaya sangat diperlukan dengan arah pembangunan yang harus berkesesuaian dengan tanpa mengenyampingkan keadaan alam yang ada, dimana lahan-lahan sagu makin hari, makin tergerus dengan sebuah peradaban yang bernama “pembangunan”.

Oleh : Isnesa Pelupessy (pemerhati masalah pangan)