BERITABETA.COM – Kabar duka datang dari wartawan sekaligus sastrawan senior Arswendo Atmowiloto. Arswendo Atmowiloto meninggal dunia pukul 17.50, Jumat (19/7/2019) di rumahnya karena sakit yang dideritanya selama ini.

Tetangga dekat Arswendo, Tri Agung Kristanto yang juga Wakil Pemimpin Redaksi Kompas membenarkan kabar itu.

“Betul (meninggal dunia), pukul 17.55 anaknya, Soni Wibisono menyampaikan bahwa papa sudah enggak ada,” ujar Tri, Jumat sore.

Arswendo Atmowiloto dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta karena mengalami penurunan kesehatan akibat penyakit kanker prostat.

Arswendo Atmowiloto merupakan penulis dan wartawan Indonesia yang aktif di berbagai majalah dan surat kabar seperti Hai dan Kompas. Ia menulis cerpen, novel, naskah drama, dan skenario film. Berikut kisahnya :

Arswendo Atmowiloto lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 November 1948 dengan nama Sarwendo, yang kemudian mengubah namanya menjadi Arswendo, tak pernah punya angan menjadi penulis kala masih anak-anak dan remaja. Namun perjalanan mengantarkan dia menjadi salah satu penulis paling produktif di Indonesia.

“Saya tidak bercita-cita menjadi penulis,” kata Wendo kepada Medcom.id lewat pesan tertulis.

“Waktu SMA, saya tidak bisa melanjutkan kuliah, menganggur, kerja serabutan, termasuk pemungut bola tenis. Dari kelas dua SMA, saya sudah menulis, diteruskan bikin cerpen, novel, skenario,” lanjut Wendo yang kini sedang rutin menjalani pengobatan di rumah sakit.

Karya Arswendo yang paling populer dan berkembang besar adalah Keluarga Cemara. Empat dekade sejak terbit pertama di majalah, kisah ini akhirnya dipinang ke versi film layar lebar dan akan dikisahkan lewat medium lain setidaknya hingga 2020. Banyak orang terinspirasi, baik lewat cerita bersambung aslinya di majalah, novel berseri, serial televisi, hingga film yang kini sedang tayang.

“Semua pengarang pasti berharap (karyanya) berumur panjang,” kata Wendo pada suatu sore kepada sejumlah wartawan di Kemang, Jakarta, sepekan setelah film Keluarga Cemara versi 2019 tayang di bioskop.

Sore itu, Wendo, yang pada masanya aktif sebagai jurnalis dan menulis untuk berbagai media massa, menceritakan pengalaman hidupnya sebagai sebuah wejangan. Dia berharap jurnalis tidak hanya membuat reportase harian, tetapi juga menulis karya yang hak ciptanya bisa dimiliki sendiri, misalnya karya sastra fiksi.

“Saya mati 50 tahun yang akan datang, karya ini masih memberi duit untuk saya dan keluarga saya. Menjadi wartawan, bikin berita lalu selesai, cuma dibayar untuk itu, tetapi kalau karya semacam ini, bisa puisi, cerita pendek, atau apa saja, siapa tahu, someday, somewhere, kemudian bisa seperti ini (diadaptasi ke karya lain),” tuturnya.

Batal ke Bandung

Sebelum menekuni jurnalistik, Wendo sudah lebih dulu menulis cerita fiksi dalam bahasa Jawa dan Indonesia untuk beberapa terbitan di Solo, Yogyakarta, dan Jakarta. Karya pertama yang dimuat dan mendapat honor ditulis ketika dia masih belajar di SMA. Karya ini juga menjadi pintu perkenalan dia dengan redaksi surat kabar mingguan Gelora Berdikari di Surakarta.

Setelah lulus SMA pada 1968, ada satu kejadian yang ikut mengantarkan Wendo menekuni penulisan cerita. Dia nyaris kuliah beasiswa di Akademi Pos dan Telekomunikasi Bandung, tetapi batal karena suatu hal. Kejadian ini pernah diceritakan oleh Wendo kepada Agus Sopian untuk Pantau.

Kala itu, Wendo adalah satu dari dua lulusan SMA di Jawa Tengah yang beruntung mendapatkan beasiswa ikatan dinas dari Akademi. Pada hari keberangkatan ke Bandung, Wendo pergi ke Stasiun Solo Balapan dan berencana naik kereta api menuju Bandung.

Sayangnya, dia tidak punya ongkos untuk beli tiket. Dia sengaja datang pagi-pagi ke stasiun dengan harapan bertemu orang yang dikenal, tetapi hingga kereta datang dan berangkat pukul 9 lebih, dia tetap sendirian di sana. Tiket tak terbeli dan Wendo pulang berjalan kaki sepanjang lima kilometer. Dia batal kuliah di Bandung.

Wendo yatim piatu sejak usia 17 tahun. Ayahnya, Djoko Kamit alias Atmo Wiloto, meninggal pada 1960 dan ibunya, Sardjiem, meninggal pada 1965.

Dia anak ketiga dari enam bersaudara. Mereka sempat bertahan hidup dari uang pensiunan sang ayah dan hasil sewa pendopo rumah yang dijadikan sekolah dasar. Sebelumnya, Wendo juga sempat bercita-cita menjadi dokter, tetapi gagal ke sana karena masalah ekonomi.

Setelah batal ke Bandung, Wendo kembali menulis fiksi. Dia mengirim cerpen ke sejumlah media massa cetak, termasuk Gelora Berdikari, Mekarsari, dan Kuntjung. Awalnya dia menggunakan nama Sarwendo, tetapi kemudian mengubahnya menjadi Arswendo yang lebih “membawa berkah”.

Tak lama, dia bergabung dengan terbitan baru berbahasa Jawa bernama Dharma Kanda dan Dharma Nyata serta menjadi koresponden Tempo. Dia juga sempat kuliah di IKIP Negeri Solo (UNS), tetapi hanya bertahan beberapa bulan.

Pada 1973, Wendo pindah ke Jakarta dan bergabung dengan majalah humor Astaga, yang ternyata tidak panjang umur. Dari sana, Wendo bergabung ke media dalam naungan Kelompok Kompas Gramedia.

Mulanya dia bekerja di majalah remaja MIDI (Muda Mudi). Namun majalah ini tutup juga pada 1977, sebelum digantikan dengan majalah baru HAI yang bertahan hingga 40 tahun.

Selama bekerja di HAI, Wendo juga menulis sejumlah cerita berseri yang kemudian populer. Keluarga Cemara hanyalah salah satunya.

“Karena saya merasa punya majalah (HAI), saya bikin cerita seri sendiri. Jadinya banyak, ada Keluarga Cemara, Imung, Senopati Pamungkas yang cerita silat itu, lalu ada Kiki dan Kompolotannya. Jadi, ya fiksi terus saja,” ujar Wendo.

Wendo menjadi pemimpin redaksi HAI pada 1983. Sejak itu, menurut Soleh Solihun dalam tulisan blog-nya, arah konten majalah berubah. HAI tidak hanya memuat komik, tetapi juga “sinopsis cerita, video silat, dan resensi film seri yang sering ditayangkan di televisi”. Sampul majalah juga sering memuat potret wajah bintang film. Wendo mundur dari HAI pada 1987.

Sepanjang era 1970-an dan 1980-an, Wendo juga sering menulis kritik untuk televisi dan juga menulis skenario film. Debut film berdasarkan naskahnya adalah Saat-Saat Kau Berbaring di Dadaku (1984), yang ditulis bersama sang kakak Satmowi Atmowiloto.

Film-film berikutnya yang melibatkan Wendo antara lain Opera Jakarta (dengan nama alias Titi Nginung), Arie Hanggara, Telaga Air Mata, Pacar Ketinggalan Kereta, serta Valentine, Kasih Sayang Bagimu.

Wendo juga pernah menjadi pemimpin redaksi Monitor, tabloid lama yang dilahirkan kembali sebagai tabloid hiburan pada 1986. Edisi pertama terbit dengan gambar sampul Veronica, mantan istri Rhoma Irama, yang sedang memegang gitar.

Tabloid ini bermain di ranah jurnalistik sensasi atau dulu kerap disebut sebagai “ser dan lher”. Strategi mereka cukup berhasil karena sudah balik modal setelah setahun. Dalam perjalanannya, tabloid ini mengintip gaya Daily Mirror dan Sun.

Pada 1990, sebuah program angket “iseng-iseng” terhadap pembaca Monitor mengantarkan Wendo ke penjara. Mereka mengumpulkan suara para pembaca dan menyusun artikel survei “50 Tokoh Yang Dikagumi Pembaca Kita”. Artikel dimuat dalam edisi 255 terbitan 15 Oktober 1990.

Dari 33-34 ribu suara, pilihan terbanyak jatuh kepada Soeharto dengan lima ribu pemilih. Nama Wendo ternyata juga populer karena berada di peringkat ke-10. Namun yang menjadi sumber kemarahan orang-orang, ada nama Nabi Muhammad di peringkat ke-11.

Gelombang protes dan aksi massa datang. Kantor Monitor dirusak dan keluarga Wendo tak berani keluar rumah. Setelah proses pengadilan yang dijaga personel keamanan secara ketat, Wendo akhirnya dihukum penjara dengan vonis maksimal lima tahun. Menurut Agus Sopian, harta keluarga Wendo habis separuh untuk membiayai perkara ini. Anaknya yang bungsu juga terpaksa sekolah sambil berjualan kue buatan ibu.

Selama di penjara dan setelah bebas, Wendo tetap produktif menulis skenario film, novel, dan cerbung. Dia berkawan baik dengan para sipir di penjara. Dia juga punya beberapa nama pena sebagai samaran, seperti Lani Biki, Said Saat, dan BMD Harahap.

Keluarga Cemara

Popularitas Keluarga Cemara dan sejumlah cerbung lain membuat kisah-kisah itu diterbitkan kembali sebagai novel atau antologi berseri. Buku antologi pertama Keluarga Cemara diterbitkan pada 1981 oleh Gramedia. Isinya 15 cerita pendek tentang keluarga Abah dan Emak, termasuk awal mula keluarga itu. Lima episode buku menyusul terbit hingga 1986 dan 2001.

Kenapa dinamakan Cemara? “Karena desa itu banyak pohon cemara, tempat kelahiran Ara (Cemara). Sewaktu pindah ke desa, Ara masih (dikandung) di perut,” jelas Wendo.

Dalam versi cerbung itu, kelahiran Ara adalah momen kehadiran becak sebagai sumber penyambung nafkah Abah. Pada hari kelahiran, Emak diantar ke rumah sakit naik becak. Lantas becak ini dipakai Abah untuk bekerja.

Bagi yang belum tahu, kisah Keluarga Cemara berpusat pada sebuah keluarga yang awalnya kaya raya, tetapi mendadak bangkrut dan harus hidup di kampung dengan rumah warisan. Keluarga ini punya tiga anak perempuan, Euis, Cemara, dan Agil.

Gagasan awal Wendo atas kisah ini berangkat dari pertanyaan, apakah orang Indonesia bisa hidup dengan kejujuran apapun yang terjadi.

“Bisa, walau mungkin sangat sangat sederhana. Cerita aslinya, Abah ditipu sahabatnya soal bisnis penyelundupan. Harta Abah disita, lalu ada peninggalan di desa. Dari situlah, Abah bertekad hidup jujur,” ujarnya.

Penggalan cerita sehari-hari menjadi inspirasi Wendo menulis cerpen Keluarga Cemara. Misalnya, cerita soal orang yang sedang tidak punya uang dan menemukan dompet, lalu mengembalikan ke pemilik kendati dia dicurigai. Ada juga yang berangkat dari pengalaman personal di keluarganya sendiri.

“Banyak pengalaman personal yang pasti kita ciptakan lagi,” kata Wendo. “Adegan Euis menstruasi itu ada di keluarga. Saya mencoba memahami anak-anak, kenapa benci sekali kepada bapaknya hanya karena mens misalnya. Atau adegan ngompol, disuruh minum, itu ancaman-ancaman yang nyata ada di keluarga.”

Selepas dari penjara, Wendo ditawari RCTI untuk membuat serial televisi Keluarga Cemara. Tawaran diterima. Dia dan Harry Tjahjono mendirikan perusahaan produksi Atmochademas Persada dan membuat serial ini bersama mendiang sutradara Eduard Pesta Sirait. Adi Kurdi beradu akting dengan Novia Kolopaking, yang kelak digantikan Lia Waroka.

Episode pertama tayang pada 3 Mei 1996. Temanya, yang memotret kemiskinan dan kesederhanaan, tergolong menantang arus utama pada zaman itu. Namun toh, sukses juga. Total ada 412 episode dalam tiga musim hingga 2005. Saluran tayang sempat pindah dari RCTI ke TV7.

Keluarga Cemara Abad 21

Kisah keluarga Abah dan Emak terlahir kembali dalam film terbaru yang digarap sutradara-penulis Yandy Laurens bersama Visinema Pictures.

Dalam beberapa kesempatan, Wendo menyebut bahwa proyek film ini seperti sebuah pinangan: karyanya telah dewasa dan “menikah” dengan orang lain. Dia memang tidak terlibat banyak, selain statusnya sebagai pemilik cerita asli dan sesekali menjadi konsultan.

Ini bukan pertama kalinya ada produser yang melamar kisah Keluarga Cemara untuk dijadikan film. Namun lamaran Anggia Kharisma dan Gina S Noer dari Visinema akhirnya diterima. Film ini syuting pada awal 2018, diputar perdana di festival film internasional pada akhir 2018, dan dirilis di bioskop pada awal 2019.

“Visinema punya kesamaan ide,” jelas Wendo singkat.

Kebaikan hati Wendo bagi tim produksi sempat diceritakan oleh Anggia dan Gina dalam konferensi pers di Kemang. Wendo memberikan izin lagu Harta Berharga, yang dia ciptakan bersama Harry, untuk dipakai dalam film secara cuma-cuma oleh Visinema. Ketika ditanya lebih lanjut, Wendo membenarkan hal ini.

“Saya tidak mau (proyek) kami batal hanya karena faktor uang. Namun waktu dengan BCL (Bunga Citra Lestari menyanyikan ulang lagu ini), saya diberi honor,” ungkapnya.

Film yang dibintangi Ringgo Agus Rahman dan Nirina Zubir itu sukses secara komersial dan menjadi film pertama Visinema yang menembus angka box office satu juta tiket. Setelah dua pekan tayang di bioskop, angka penjualan tiketnya mencapai 1,24 juta lembar.

Namun bukan itu yang membuat Wendo ikut bahagia. Banyak respons positif terhadap film ini, termasuk mereka yang kemudian sadar telah melakukan kesalahan dalam relasi masing-masing dengan keluarga. Bagi Wendo, berkah terindah adalah ketika penonton masih merasa dekat dengan kisah yang sarat nilai kekeluargaan dan kejujuran.

“Nilai kekeluargaan ternyata masih berlaku, orang jujur masih diidolakan, meskipun mungkin, dengan jujur, dia tidak bisa kaya raya. Kalau kisah ini bisa membuka ke arah itu, menurut saya sukses,” ungkap Wendo.

“Pasti senang (penjualan tiket) satu juta, ini menjadi bonus lagi. Namun, kita melakukan sesuatu ada maknanya dan kenyataannya, paling tidak, sambutan filmnya relatif bagus,” imbuhnya.(berbagai sumber)