BERITABETA, Ambon – Fenomena krisis pangan global dewasa ini dinilai bisa diatasi dengan pengembangan pangan lokal. Salah satu pangan lokal yang berpotensi untuk mengatasi krisis pangan secara nasional adalah sagu.

Luas hutan sagu secara nasional mencapai 5,6 juta hektar. Dari luas ini, Maluku menyumbang 60.000 hektar. Dan Jika produktivitas perkebunan sagu sebesar 30 ton/hektar,  maka 5,6 juta hektar  sagu itu bisa menyumbang karbohidrat untuk 933 juta orang per tahun.

Hal ini disampaikan Gubernur Maluku Said Assagaf dalam sambutannya pada Seminar Internasional Sagu yang berlangsung di Auditorium Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Rabu (28/11/2018).

Dikatakan, Seminar Internasional Sagu yang  mengusung tema “Sago For Food Security And Environmental Sustainability In Small Island,” diharapkan bisa menghasilkan perspektif, inovasi dan teknologi baru yang dapat mendukung pengembangan sagu di Maluku secara berkelanjutan.

Terutama, untuk ketahanan pangan dan pembangunan lingkungan, sehingga pemerintah daerah bisa menyusun kembali blue print pengembangan pangan serta kemungkinan hilirisasi komoditas sagu. Khususnya di wilayah-wilayah kepulauan Maluku, sebagai basis kedaulatan pangan, kelestarian lingkungan dan bahan baku industri di masa mendatang.

Gubernur Maluku Said Assagaf dalam sebuah kesempatan berkunjung ke Kabupaten Bursel menikmati pangan lokal didampingi Bupati Bursel.

“Sagu memiliki daya tahan terhadap lingkungan dan perubahan iklim, termasuk bisa tumbuh di lahan bergambut, sehingga dapat dengan mudah dikembangkan,”katanya.

Dijelaskan, dalam dua dekade terakhir, ketahanan pangan di Indonesia sedang menghadapi masalah krusial karena beberapa factor.  Antara lain, terjadinya perubahan iklim global yang disertai dengan meningkatnya penyebaran hama yang mengakibatkan tingginya biaya produksi beras. Disamping itu makin menyempitnya lahan, dan semakin berkurangnya sumber air yang sangat dibutuhkan oleh tanaman padi.

“Tidak mengherankan ketergantungan kepada beras saat ini membuat harga beras melambung tinggi dan terpaksa kita harus mengimpor berasa dari luar negeri,”urai Gubernur Maluku.

Peyebabnya, kata Gubernur, karena telah terjadi  unifikasi atau penyeragaman pangan yang dilakukan pemerintah pusat pada masa lalu.  Proses ini berhasil menyeragamkan beras atau nasi sebagai pangan nasional atau makanan pokok orang Indonesia yang secara sistematis dilakukan.

Kata Assagaf, tanpa sadar telah terjadi semacam genosida (pemusnahan terhadap pangan lokal) seperti sagu, umbi-umbian dan jagung dan yang lainnya yang selama berabad-abad menjadi pangan masyarakat Indonesia di berbagai daerah.

Sebagai contoh, lanjut Gubernur Maluku,  orang Maluku sehari-hari makan harus ada sagu lempeng, sinoli atau papeda. Sedangkan beras (nasi)  hanya menjadi makanan tambahan pada hari Jumat dan Minggu.

“Saat ini makanan hari-hari kita adalah beras, dan sagu hanya pada hari-hari tertentu saja, khususnya hari Jumat atau hari Minggu,”katanya.

Untuk itu, tambahnya dalam menghadapi ketahanan pangan di Indonesia yang sedang menghadapi masalah krusial, maka sagu bisa menjadi solusi alternatif bagi ketahanan pangan nasional, khususnya di daerah-daerah yang endemik seperti Maluku, Papua.

Apalagi kandungan karbohidratnya sangat banyak, dan relatif sangat baik untuk kesehatan, jika dibandingkan dengan beras yang resisten penderita Diabetes.

“Untuk itu, sagu bisa dapat Menjawab Krisis Pangan yang sementara terjadi dalam dua decade ini,”ujar Gubernur Maluku Said Assagaff.

Namun masalahnya,  ungkap Assagaf, sebagian besar tanaman sagu saat ini masih dikelola dalam bentuk hutan sagu dengan produktifitas kurang dari 10 ton/hektar. Bahkan lahan sagu semakin berkurang karena banyak yang dikonversi menjadi kawasan pemukiman, jalan, perkantoran sagu atau menjadi lahan untuk tanaman pangan, holtikultural dan perkebunan.

“Kami juga mencermati bahwa tanaman sagu mulai kurang diperhatikan, tidak terurus, bahkan banyak pangan sagu yang siap panen di hutan tidak dipanen pada waktunya,”ungkapnya (BB-DIO)