Lebel miskin yang disandang provinsi Maluku rasanya menjadi pukulan telak bagi kita. Tapi itulah fakta dari sebuah rilis data hasil survey. Kita bahkan tidak habis pikir ada lebel seperti itu. Padahal, Maluku punya potensi yang luar biasa besar.  Terlebih lagi data kemiskinan itu seakan menjadi bahan olokan bagi anak negeri ini, karena 71 persen angka kemiskinan itu ada pada sektor pertanian.

Di darat, kita punya komoditi primadona yang cukup besar potensinya, jika mampu dieksploitasi dengan baik. Ada pala, cengkih dan sagu yang cukup dikenal. Pala dan cengkih ratusan tahun lalu menjadi pemicu utama infasi bangsa koloni ke daerah ini.

Sagu pun demikian, tidak kalah besar potensinya. Sebuah hasil kajian yang dilansir Forum Kerjasama Agribisnis menyebutkan, jika Indonesia mau membudidayakan sagu dan memanfaatkan pengelolaannya secara maksimal dalam memproduksi tepung sagu, maka dalam jangka waktu sekali panen, industri tepung sagu dengan kisaran harga Rp. 2.400 per kilo gramnya saja,  sudah mampu menyumbang pendapatan kotor dikisaran 4 trilyun rupiah.

Metroxylon  termasuk  sumber kekayaan Indonesia. Ada  satu juta hektar hutan sagu yang tersebar di beberapa provinsi atau menguasai 51.3% hutan sagu di dunia.  Dan Maluku memiliki hutan sagu yang cukup potensial.

Ironisnya, keberadaan sagu sebagai komoditi pangan lokal di Maluku makin hari makin redup peranannya. Padahal, sebagai sumber pangan, sagu sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternative pengganti beras.  Sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per hektar, jauh melebihi produksi pati beras atau jagung yang masing-masing hanya 6 ton dan 5.5 ton per hektar.

Sagu tidak hanya menghasilkan pati terbesar, tetapi juga menghasilkan pati sepanjang tahun.  Setiap batang menghasilkan sekitar 200 kg tepung sagu basah per tahun.

Dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, tentunya akan berdampak pada  konsumsi pangan semakin tinggi.  Fenomena ini tidak dapat diharapkan bila suatu daerah atau negara hanya memiliki satu sumber pangan utama seperti beras.

Di pulau Jawa luasan arel persawahan mulai mengalami penyusutan seiring adanya upaya pengalihfungsian yang dilakukan  menjadi areal pemukiman dan industri. Maluku kemudian menjadi sasaran baru kebijakan pemerintah melakukan  perluasan areal persawahan itu.

Kini anak Maluku bukan saja pandai bercocok tanam padi sebagai penghasil beras, tapi juga sudah “tersandra” dengan pangan satu-satunya bernama beras. Generasi Maluku tidak akan kenyang tanpa nasi.  Sedangkan sagu hanya sebagai pangan alternatif.

Miris memang, tapi itulah fakta. Komoditi lokal kita sudah jarang dijumpai di atas meja makan keluarga anak negeri ini. Makin hari mulut kita “bodoh” dan akhirnya komoditas lokal  kita mulai hilang pamor. Ratusan milyar fulus yang harus dihasilkan dari produk turunan sagu lenyap seiring perubahan drastis itu. Hulu kita potensial, tapi gerakan hilirisasi kita stagnan akibat tertumpuh pada pola lama tanpa inovasi yang briliat. Kita masih saja melantunkan donci “Sagu salempeng dipatah dua”. Harusnya donci itu sudah patut diganti syairnya dengan “Mie sagu di meja makan” atau “Kue bolu dari sagu”.

Kita kalah dengan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang  sudah lebih dulu bergerak dengan mengampanyekan sagu sebagai komoditi unggulan. Produk turunan yang dihasilkan dari pati sagu pun tidak main-main jumlahnya. Produksi sagu Riau kini mencapai 246.000 ton per tahun, dihasilkan dari lahan seluas 87.000 ha.

Sedangkan Maluku seakan “jalan di tempat” tanpa terobosan yang berarti. Kita punya hutan sagu terbesar tapi kering perhatian. Dan tidak mampu didongkrak menjadi sumber pendapatan bagi daerah ini.  Kita mengaku anak sagu, tapi kita bukan sagunivora (pemakan sagu).

Riau malah sudah mengklaim dirinya sebagai Provinsi Sagu. Gubernur Riau, Ir. H. Arsyadjuliandi Rachman, MBA, memiliki visi  Provinsi Riau menjadi Provinsi Sagu di Indonesia.  Kampanye dengan tema “Aku Cinta Sagu” terus disuarakan bahkan sagu Riau kini telah menyapa dunia. Riau pantas disebut provinsi sagu, karena upaya diversifikasi pangan di provinsi berjuluk “Lancang Kuning” itu sudah mendunia.

Lalu apa kabar Sagu Maluku? Diamanakah riwayatmu dulu?. Dahulu kita merdeka, karena pangan kita laris manis. Mama kita adalah pahlawannya. Saat kita tertidur pulas di atas pangkuan mama pun, saat itu mama  tengah mengolah sagu. “Sambil mama bakar sagu, mama manyanyi buju-buju,”.

Ayoo mama kasihan lawang eee….