Oleh: Hasbollah Toisuta  (Rektor IAIN Ambon)

SALAH satu dimensi penting dari ibadah puasa Ramadhan adalah memperkokoh semangat solidaritas sosial antar sesama. Artinya pesan sentral ibadah puasa tidak berhenti pada domain keshalehan ubudiah semata, melainkan atau bahkan lebih penting adalah membentuk keshalehan sosial.

Memang seperti itulah hakikat setiap agama, yaitu bagaimana memperkokoh komitmen ke-Tuhan-an untuk kemanusiaan. Dari sini dapat dipahami bahwa iman (komitmen ketuhanan) baru dapat berarti jika disertai dengan implikasi sosial atau komitmen kemanusiaan, bahkan komitmen kealaman. 

Ketika iman hanya berhenti pada memlihara dimensi ubudiah (ibadah mahdha) yang bersifa personal semata, maka iman seperti itu adalah iman yang “egois”. Karena itu ibadah puasa dengan segenap amaliah yang menyertainya adalah merupakan suatu “paket lengkap” dari proses mengasah diri untuk membangun sensitifitas hati agar bisa mengenal-Nya dan setelah itu berperilaku baik dengan sesama ciptaan-Nya (hablun min al-Lah wa hablun min al-nas).

Ilustrasi Persaudaraan

Di dalam Al-Quran terdapat begitu banyak ayat yang menunjukan pentingnya membangun sikap empati dan solidaritas sosial ini. Misalnya ketika Allah mensejajarkan antara kata iman dan amal sholeh (aamanu wa ‘amilus shaalihat), mensejajarkan antara perintah menegakkan sholat yang bersifat ibadah individu dengan mengeluarkan zakat yang bersifat ibadah sosial (wa aqiimu al sholah wa aatu al zakat), menggantungkan ibadah puasa (ibadah individu) untuk tidak akan diterima-Nya sehingga ditunaikannya zakat fithrah (ibadah sosial). Semua ini merupakan pesan sentral bahwa antara iman atau keshalehan individual harus berjalan berkelindan dengan amal sholeh atau kesholehan sosial.

Salah satu wujud dari menggemarkan keshalehan sosial adalah hidup di dalam tataran cinta. Membangun sikap empati antar sesama anak bangsa. Peka terhadap persoalan keummatan dan bahkan kemanusiaan secara universal.

Dari perspektif kebangsaan kita bisa melihat dengan mata telanjang, bahwa saat ini umat Islam yang menjadi warga mayoritas bangsa Indonesia kini sedang berhadapan dengan ujian sejarah. Khusunya menjelang dan pasca hajatan politik kebangsaan kita, yaitu pemilihan umum serentak 17 April lalu.

Hingga kini umat sekan mengalami keterbelahan politik yang luar biasa. Polarisasi politik yang demikian menajam telah membawa umat untuk Vis a Vis. Sebuah pragmentasi sosial kebangsaan pada episode demokrasi bangsa yang nyaris merobek-robek tenunan kebangsaan dan keummatan kita, sedang kita saksikan dengan hati yang pilu dan penuh iba.

Tentu kita begitu banyak berharap bahwa proses demokrasi yang berlangsung tidak berbuntut pada anarkis. Semua pihak utamanya mereka yang mengklaim diri sebagai pemimpin umat harus bisa menjadi penyejuk hati dan pikiran umat. Bersikap lemah lembut dan berjiwa penyantun, agar bisa dengan sikap dewasa untuk saling menerima dan berbaik sangka terhadap sesama. Utamanya ketika kita sedang menyadari bahwa kita sedang dalam ibadah Ramadhan.

Terhadap maslah persatuan dan persaudaraan inilah Allah mengingatkan kita dengan firman-Nya, (Q.S: Al-Anfal, 8 : 46)

“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu. Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang shabar”.

Ayat ini setidaknya mengandung pesan antara lain; ajakan untuk mentaati Allah dan rasul-Nya serta larangan untuk berbantah-bantahan (berdebat tidak berujung), karena berbantah-bantahan akan menguras habis energi, dan ketika energi kita habis terkuras disaat berdebat, maka disitulah sumber hilangnya kekuatan. Sementara hilangnya kekuatan sama artinya dengan memberi ruang kepada pihak “lawan” untuk memperluas gerakannya dalam mengisi kepanikan umat.

Dalam kehidupan bersosial dan berdemokrasi, masalah atau problema hidup adalah sesuatu yang niscaya. Namun disitulah dituntut kearifan untuk mengatasinya. Dalam setiap masalah sepanas apa pun, kita harus bisa berpegang pada karakteritas kemanusiaan kita, yakni, otak boleh panas, tapi hati harusnya tetap dingin.

Bulan Ramadahn dengan Ibadah puasa justeru mengajak kita untuk keluar dari semrautnya kehidupan yang penuh dengan “topeng-topeng” egoisme diri dan egoisme kelompok. Egoisme dan nafsu keduniawian tersebut yang mestinya dibunuh dalam “jihad akbar” (jihad terhadap nafsu) di bulan ini.

Saat berpuasa kita diingatkan untuk masuk ke dalam dimensi hati nurani kita yang bening, yang efek kebeningan nurani tersebut adalah memberi pencerahan bagi manusia sejagad, yang kelak mengokohkan persaudaraan secara universal (ukhuwah imaniyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah insaniyah). Wallahu’alam (***)