Oleh : Muhammad Saleh Daeng Parany (Statistisi Ahli Muda Badan Pusat Statistik)

Beberapa bulan silam, hasil rilis Badan Pusat Statistik (BPS) terkait pencacahan lengkap Sensus Pertanian di Kabupaten SBT dalam kelompok usia. Dari total 15.337 petani yang terdata, kelompok usia 35-44 tahun adalah yang terbanyak sekitar 27,31 persen.

Selanjutnya pada kelompok usia 45-54 tahun (27,15 persen) dan pada  kelompok usia lebih tua yakni 55-64 tahun (19,44 persen). Adapun jumlah petani muda di kelompok usia 25-35 hanya sebanyak (13,43 Persen). Semakin muda usia semakin sedikit jumlahnya. Jumlah paling sedikit pada kelompok usia 15-24 tahun sebesar (1,35 Persen).

Jika diringkas maka (57,92 persen) petani di Kabupaten SBT berada dalam usia di atas 45 tahun. Produktifitas seseorang sudah menurun cukup drastis pada usia sepuh seperti itu. Apalagi sebagian besar tenaga kerja di bidang pertanian berpendidikan hanya sampai SD. Daya saing mereka tentu lebih rendah dalam strategi bertani gaya modern.

Pada sisi yang lain, ada sekitar 1,9 ribu pengangguran dari 59,2 ribu jumlah angkatan kerja di Seram Bagian Timur yang hidup di tanah yang subur serta laut dengan ikan yang melimpah.

Bila ditelaah lebih dalam ditemui bahwa, 74 persen atau sekitar 1,4 ribu pengangguran tersebut adalah lulusan pendidikan menengah atas dan perguruan tinggi. Sungguh modal Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup banyak yang bila dikelola dengan baik dapat menggerakkan sektor pertanian di daerah ini.

Kembali ke penyebab partisipasi usia muda dalam sektor pertanian yang minim ditengarai macam-macam. Ada yang menghindari jadi petani karena tidak ingin berpanas-panasan di lahan, tidak suka kotor dan lebih nyaman bekerja di kantor, tidak ingin ambil risiko, tinggal nunggu gaji.

Masuk akal memang, sebab sekarang kalau mau mulai jadi petani risikonya cukup besar kalau mau untung yang besar. Istilahnya "high risk, high revenue" katanya. Petani dianggap bukan profesi yang menjamin finansial di tengah naiknya harga-harga kebutuhan hidup, apalagi untuk investasi masa depan, biaya kuliah, cicilan rumah, pensiun. Bekerja di industry, pertambangan dan jasa menjadi pilihan yang lebih menarik bagi kaum muda.

Fakta hari ini, pemuda SBT berbondong-bondong meninggalkan ciri agrarisnya, sebab menganggap tidak ada lagi jaminan penghidupan layak di dalam tanah dan lautnya.

Saya sepakat, bahwa keengganan menjadi petani kini mewabah di kalangan anak-anak muda di daerah ini, baik dari lulusan fakultas pertanian maupun bukan, gengsi menjadi petani serta pendapatan yang tidak menarik bagi kaum muda menjadi masalah utama.

Kondisi ini harus menjadi perhatian semua pihak. Karena di era bonus demografi ini, jumlah tersebut justru terjadi pada petani yang berusia muda. Dimana, permintaan pangan terus naik seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, kemajuan ekonomi dan industry pengolahan makanan.

Sebagai wilayah dengan lahan yang luas dan subur, tentu tidak harus selalu mengandalkan beras cap gentong atau beras bermerek garudamas yang diimport dari luar wilayah untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat daerah ini.

Kondisi yang diharapkan ialah jumlah petani usia muda meningkat, diikuti oleh naiknya produktivitas dan produksi pangan pada sentra-sentra produksi agar dapat memenuhi kebutuhan pokok masyarakat demi terwujudnya ketahanan pangan daerah ini.

Tentu saja, daerah wajib menyediakan pangan yang cukup bagi warganya. Pangan, adalah produk dari sektor pertanian. Oleh karena itu, membicarakan masalah pangan tidak terlepas dari masalah pertanian. Pertanian tidak hanya penting sebagai penghasil makanan pokok rakyat, tetapi juga menjadi lapangan kerja bagi sebagian besar penduduk di SBT.

Sebanyak 48 persen penduduk daerah ini bekerja di sektor pertanian dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 31,26 persen. Artinya pertanian merupakan sektor ekonomi basis dan prioritas yang perlu diperhatikan, tidak saja sebagai pilar ekonomi daerah ini, tetapi mempunyai misi untuk menyediakan makanan yang cukup bagi penduduknya.

Pembentukan komunitas Pemuda di bidang pertanian (Pengusaha Muda Pertanian) dengan program yang terstruktur dan berkesinambungan dapat menjadi solusi dari Pemerintah Daerah (Pemda) agar pemuda dapat berminat terhadap bidang pertanian dan memandang pertanian sebagai sebuah bidang usaha, sehingga petani harus berperilaku layaknya sebagai seorang pengusaha.

Pengusaha-pengusaha muda di bidang pertanian ini perlu didukung dengan pembinaan, keterampilan dalam memilih komoditas yang hendak ditanam, pemilihan input yang lebih murah, hitung-hitungan untung rugi harus dimiliki oleh petani serta pilihan teknologi baru serta akses pasar yang lebih luas dan sebagainya.

Sudah waktunya pertanian di daerah ini dibuat bergengsi dengan konsep pertanian modern, pemanfaatan alat-alat modern serta pemasaran yang baik dapat mengangkat gengsi dan menjadi daya tarik bagi kaum muda untuk kembali ke jati diri daerah sebagai daerah agraris. (*)