Refleksi Menuju 1 Muharram 1444 Hijriah

Oleh : Muhammad Kashai Ramdhani Pelupessy (Dosen IAIN Ambon)
"Hidup sekedar hidup, babi hutan pun hidup. Makan sekedar makan, monyet pun makan" (Buya Hamka).
Ungkapan ini menyiratkan pesan kepada kita bahwa menjalani kehidupan ini harus penuh dengan kebermaknaan.
Ada sesuatu yang harus kita tinggalkan untuk kehidupan pasca kematian. Sebagaimana pepatah klasik bilang begini,
"Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan amal kebaikan". Apa pun yang kita tabur dalam kehidupan ini adalah kebaikan, inilah yang dimaksud sebagai kebermaknaan hidup.
Dalam menjalani rutinitas setiap orang pernah mengalami stuck dalam hidup. Merasa bahwa tidak ada kemajuan berarti. Merasa berhenti di tempat, tidak berkembang.
Ketika perasaan ini muncul, tak sedikit yang memilih jalan penyesalan. Bahkan ada yang mengambil keputusan untuk bunuh diri. Bahwa rutinitas kehidupan yang dijalankan hanya begitu-begitu saja. Tidak ada transformasi.
Penyebab utama dari perasaan stuck itu muncul adalah ketika rencana yang kita inginkan sudah tercapai. Misalnya, keinginan untuk menjadi terkenal.
Ketika kita sudah terkenal maka rutinitas yang kita jalani tampak monoton sekali. Setiap hari kita mendandani diri kita agar tetap menjadi terkenal. Hal ini tentu sangat membosankan sekali.
Disinilah kemudian kita merasa rutinitas yang kita jalani terasa stuck (jalan di tempat). Pada tingkat ekstrim, tak sedikit yang memilih jalan bunuh diri. Sudah banyak berita menunjukkan bahwa ada sebagian musisi terkenal memilih jalan bunuh diri.
Padahal, para musisi itu sudah terkenal, sesuatu yang sangat didambakan banyak orang. Kasus bunuh diri pasca terkenal ini dalam istilah Albert Camus ialah bunuh diri eksistensial.
Masalah utama dari rutinitas yang kita jalani secara tidak bermakna itu adalah keinginan yang tidak terkontrol. Dalam hal ini saya sangat sepakat dengan lagu Iwan Fals berjudul "Seperti Matahari". Dalam lagu itu, Iwan Fals menyanyikan begini,
"Keinginan adalah sumber penderitaan. Tempatnya di dalam pikiran. Tujuan bukan utama. Yang utama adalah prosesnya. Kita hidup mencari bahagia. Harta dunia kendaraannya. Bahan bakarnya budi pekerti. Itulah nasehat para nabi,"
"Ingin bahagia derita didapat. Karena ingin sumber derita. Harta dunia jadi penggoda. Membuat miskin jiwa kita. Ada benarnya nasehat orang-orang suci. Memberi itu terangkan hati. Seperti matahari yang menyinari bumi,"
Keinginan memang sumber penderitaan. Keinginan ibarat balon, kadang mengembang kadang mengkerut. Misalnya, ketika keinginan itu tercapai maka keinginan itu terus mengembang alias tidak ada batasnya. Sebaliknya, ketika keinginan itu tidak tercapai maka keinginan itu pun akan mengkerut alias membuat orang kecewa. Keinginan memang sumber penderitaan.
Dalam menjalani rutinitas kehidupan ini kadang kita perlu mengontrol keinginan agar tidak terjebak dalam instabilitas psikis seperti penyesalan, kekecewaan, dan perasaan stuck. Mengontrol keinginan bukan berarti keinginan harus dimatikan. Keinginan tidak bisa kita matikan karena telah melawan kodrat Tuhan.
Dalam ulasan Nurcholish Madjid, keinginan itu harus dipoles dengan spirit ke-Tuhan-an, sehingga keinginan yang direalisasikan telah dianugerahi oleh Tuhan. Keinginan seperti ini dalam istilah psikologi disebut motivasi diri. Motivasi merupakan variabel psikologis yang baik bagi individu. Motivasi yang telah dianugerahi oleh Tuhan.
Menjalani rutinitas kehidupan dengan motivasi yang telah dianugerahi Tuhan ini tentu akan berdampak pada stabilitas sosial. Sebab motivasi yang dikontrol oleh anugerah Tuhan ini tentu akan mengarah pada kebermanfaatan. Motivasi seperti ini akan mendorong kita membuat sesuatu demi kebaikan bersama.
Cara berkehidupan seperti ini selaras dengan ungkapan klasik tadi di atas bahwa, "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan kenang (amal sholeh)".
Semoga di tahun 1444 hijriah kita lebih banyak menebar kebaikan; kebaikan pengetahuan, kebaikan pengalaman, kebaikan cinta kasih, dan seterusnya terhadap semuanya (*)