MASIH segar dalam ingatan warga kota ini, tepatnya, Minggu 22 Maret 2020, seantero warga kota berjuluk ‘Manise’ ini begitu gempar. Rasa takut dan cemas terus menghantui, tatkala salah satu warga pendatang divonis positif terpapar virus corona (Covid-19).

Sejak itu,  Pemerintah Provinsi Maluku menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) menyikapi temuan tersebut. Keberadaan pasien 01 yang diisolasi di RSUD dr. Haulussy itu seakan menjadi momok menakutkan bagi seisi kota ini.

Pasca temuan itu, maka satu demi satu kasus baru bermunculan hingga mencapai angka puluhan, ratusan dan kini sudah tembus angka seribu lebih. Fenomena yang terjadi memang cukup menakutkan. Semua orang sibuk mencari solusi apa yang harus dilakukan, hingga muncullah protap Covid-19 yang ditelurkan pemerintah.

Mulai dari jaga jarak, penggunaan masker, cuci tangan hingga kebijakan pemberlakuan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan di kota Ambon sebagai wilayah episentrum penyebaran Covid-19 terbesar di Maluku.

Jika dilihat dari waktunya, saat ini kebijakan PSBB itu sudah berlangsung sebulan lebih. Dan besok tepatnya 3 Agustus 2020,  kembali dilanjutkan dengan PSBB transisi tahap ke dua. Tentunya, kebijakan ini untuk mengeliminir penyebaran Covid-19 yang masih muncul di kota Ambon.

Jika melihat data yang dipublis Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku hingga Minggu 2 Agustus 2020, total kasus terkonfirmasi positif telah mencapai 1.135. Terdapat 11 kasus baru yang kembali muncul di kota Ambon.

Dari total kasus 1.135 itu, terdapat sebanyak 364 pasien yang sementara dirawat, 748 pasien telah sembuh dan 23 meninggal dunia. Tentunya angka ini patut disyukuri, karena tingkat kesembuhan lebih besar.

Dari jumlah 364 pasien terkonfirmasi positif yang masih dalam perawatan,  276 orang berasal dari kota Ambon, sisanya merupakan pasien yang berasal dari kabupaten/kota lain di Maluku.

Artinya, kota Ambon mesih menjadi wilayah episentrum penyebaran Covid-19 di Maluku. Satu alasan yang menjadi penyebab tingginya penyebaran penyakit mematikan ini adalah jumlah penduduk kota Ambon yang begitu besar. Jika menilik data BPS tahun 2015, jumlah penduduk di kota Ambon telah mencapai 411. 617 jiwa.

Tentunya dengan angka ini, tingkat penularan penyakit cukup cepat, menyusul kepadatan yang juga cukup tinggi. Inilah salah satu alasan epidemiologi yang menjadi pertimbangan pemerintah daerah untuk mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial itu.

Terlepas wabah Covid-19 yang terjadi saat ini, kota Ambon sepertinya bukan baru pertama kali dilanda wabah sekelas Covid-19 ini. Dalam beberapa literatur telah mencatat, kota yang dulu dikenal dengan Nusa Aponno ini, ratusan tahun silam  pernah dilanda wabah serupa.

Tahun 1558, kota Ambon dan Ternate  pernah tercatat dalam sejarah sebagai daerah pertama di Hindia Belanda dengan kemunculan penyakit cacar atau variola.

Dari catatan yang disadur di historia.id menyebutkan dalam periode tersebut, cacar yang ditemukan di Ambon kemudian  menyebar di beberapa daerah di Maluku seperti halnya terjadi pada awal penyebaran Covid-19 di Maluku tiga bulan lalu.

Vaksinasi cacar masa Hindia Belanda. (blogtrisno.wordpress.com)

Dari catatan itu disebutkan, sebelum masyarakat mengetahui cacar, mereka menganggap kemunculan cacar akibat ulah makhluk halus yang datang dari laut.

Penduduk Pulau Buru disebutkan sampai punya kepercayaan untuk menghindari pantai dan laut. Untuk mencegah cacar masuk ke desa, mereka melakukan ritual dengan membangun rakit kecil untuk melarang penyakit ke tempat asalnya.

Kondisinya mirip awal mula wabah Covid-19 menggemparkan dunia. Negara-negara dahulu dalam mengobati wabah variola. Kala itu, cacar mewabah selama ribuan tahun. Cacar jadi penyakit yang sukar disembuhkan. Cacar bahkan dikaitkan dengan perkara magis. Diyakini sebagai wabah yang datang dari kutukan dan dibawa oleh roh halus.

Hingga satu saat dokter berkebangsaan Inggris, Edward Jenner membantah semua itu. Pada tahun 1796, ia menemukan vaksin cacar. Penemuan itu didasari pengamatan Jenner terhadap seorang pemerah susu bernama Sarah Nelms yang terserang cacar sapi dengan ciri bintil-bintil di tangan dan lengan.

Ia yang saat itu merawat Sarah tak tinggal diam. Kemudian, ia menguji teorinya sendiri dengan mengambil nanah cacar sapi di lengan Sarah dan memindahkannya (inokulasi) ke tubuh James Phipps, anak tukang kebunnya yang baru berumur delapan tahun. Setelah beberapa hari, anak itu pulih.

Dua bulan kemudian Jenner kembali menginokulasi kedua lengan James dengan sampel cacar yang sama.

Dari situ, Jenner menyimpulkan bahwa cacar hanya dapat menyerang seseorang satu kali. James terbukti kebal terhadap cacar yang sempat menyerangnya. Saat itu lah laju pembuatan vaksin digalakkan.

Hal menarik tentang wabah cacar di abad ke-14 adalah bagaimana tentara Tartar memanfaatkan wabah cacar sebagai senjata biologis dengan melempari musuhnya dengan mayat penderita cacar.

Di tahun 1871, sebaran wabah cacar meluas. Ternate, Ambon, dan Bali jadi wilayah yang terdampak paling parah. Di Bali, misalnya, di mana 18 ribu orang dilaporkan meninggal akibat cacar. Catatan tersebut jadi modal penting bagi penanganan cacar kala itu, sebelum akhirnya Belanda membawa vaksin untuk disebar ke pelosok negeri.

Adanya vaksin jadi angin segar bagi pemerintah Hindia-Belanda zaman itu. Jean Gelman Taylor, dalam buku “Kehidupan Sosial di Batavia” menjelaskan bagaimana imunisasi jadi perlawanan terhadap pengobatan kuno berbau mistik yang sebelumnya banyak dilakukan masyarakat lokal dalam memerangi penyakit cacar.

Kejadian wabah penyakit pun tak luput ditulis oleh para penjelajah dalam catatan perjalanannya. Kisah tersebut kemudian diringkas kembali oleh para sejarawan yang membahas mengenai kejadian wabah penyakit di Asia Tenggara.

Anthony Reid merupakan salah satu sejarawan yang membahas mengenai kejadian wabah penyakit di Asia Tenggara. Dalam bukunya yang berjudul “Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680”, ia menjelaskan hubungan antar wilayah yang tercipta melalui jaringan maritim dan perdagangan tidak menutup kemungkinan menjadi media penyebaran berbagai penyakit.

Dalam buku yang ditulis oleh Anthony Reid menyebutkan bahwa sumber sejarah dari Portugis dan Spanyol menyebutkan bahwa penyakit cacar menjadi penyakit paling menakutkan di Asia Tenggara karena banyak menelan korban jiwa. Wabah penyakit ini juga terjadi di Indonesia pada tahun 1558 yang melanda wilayah Maluku yang pusatnya di Ambon.

Kisah cacar di Nusantara sempat juga direkam oleh Iksaka Banu dalam kumpulan cerpen dalam buku berjudul ‘Teh dan Penghianat’. Dalam cerpennya yang berjudul Variona, Iksaka Banu merangkai kejadian penyebaran wabah cacar sebagai latar cerita.

Dia mencoba membuka kembali tabir sejarah bahwa wabah cacar (variola) sempat menjadi malaikat pencabut nyawa sejak abad 14, saat masa Hindia-Belanda.

Dalam buku itu dia juga menyebut, wilayah Ternate, Ambon, dan Bali menjadi daerah yang paling banyak kehilangan nyawa akibat cacar. Bahkan cacar disebut sebagai ‘Malaikat pencabut nyawa’.

Semoga kota Ambon kedepan akan lebih baik dengan berbagai kebijakan yang saat ini ditempuh (***)