Oleh : Iskandar Pelupessy (Pemerhati Masalah Sosial)

KASUS positif Covid-19 di Indonesia hingga Sabtu (27/6/2020) pukul 12.00 WIB mencapai 52.812 kasus, terhitung sejak kasus pertama diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020. Demikian disampaikan  Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto dalam dalam konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu sore.

Bertambahnya korban positif Covid-19, ternyata berbanding terbalik dengan kondisi sosial masyarakat dalam menghadapi pandemi ini. Kasus pengambilan paksa jenazah Covid-19 di beberapa daerah oleh keluarga korban marak terjadi, seperti di Makassar, Manado dan beberapa hari kemarin di Ambon.

Kita jadi bertanya-tanya, apa sih sebenarnya Coronavirus dan Covid-19 itu? Seperti dikutip dari halaman web Kementrian Kesehatan, Coronavirus merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan.

Pada manusia biasanya menyebabkan penyakit infeksi saluran pernapasan, mulai flu biasa hingga penyakit yang serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Sindrom Pernafasan Akut Berat/ Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).

Coronavirus jenis baru yang ditemukan pada manusia sejak kejadian luar biasa muncul di Wuhan Cina, pada Desember 2019, kemudian diberi nama Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV2), dan menyebabkan penyakit Coronavirus Disease-2019 (COVID-19).

Kisruh yang diakibatkan oleh pandemi Covid ini marak terjadi, hampir menyentuh semua lini masyarakat. Tingkat kebosanan akan lamanya pandemi serta simpang siur mengenai wabah ini menjadi akumulasi kekecewaan masyarakat dalam menghadapi berbagai aturan yang diberikan pemerintah guna menghadap ancaman ini.

Minimnya edukasi dan informasi yang diterima masyarakat meninggalkan sejuta tanya. Seperti halnya peristiwa yang terjadi di Ambon meninggalkan masalah dengan ditersangkakan delapan orang pengambil paksa jenazah. Bukan cuma pengambilan paksa kejadian ini pun, mengakibatkan salah seorang perawat dipukul oleh keluarga korban.

Ketidaktahuan informasi soal penanganan pasien Covid-19, serta rasa sayang dan cinta keluarga terhadap kerabat mereka yang sakit menjadi dilematis dalam penenanganan pasien. Belum lagi informasi penanganan pasien Covid-19 yang sering dikeluhkan keluarga di beberapa rumah sakit di Indonesia, kesemua ini makin menambah rumit penanganan.

Minimnya edukasi dan informasi yang diberikan kepada masyarakat, berdampak pada tenaga kesehatan yang dibully hingga kekerasan fisik.

Masyarakat minim informasi soal hasil swab, hingga menggangap hasil swab yang ada adalah kebijakan tenaga kesehatan/rumah sakit yang merawat. Padahal informasi korban terpapar Covid-19 tidak sesederhana itu. Hasil dari laboratorium akan diberikan langsung ke gugus tugas, dan bukan menjadi kewenangan tenaga kesehatan di rumah sakit saat dirawat ataupun petugas medis di lapangan (tim tracing dll).

Seperti di Maluku pihak yang mengkonfirmasi positif dan tidaknya seseorang terpapar Covid-19 adalah  Gugus Tugas Covid-19 Maluku berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium.

Mengutip pernyataan teman nakes di halaman facebooknya, dia berujar sejatinya jika masyarakat  (keluarga pasien) yang tidak puas dengan status pasien maka silahkan langsung mengkonfirmasi ke Gugus Tugas Covid-19. Jangan kemudian menyalahkan petugas medis/nakes di rumah sakit dan lapangan yang hanya menjalankan tugasnya untuk melayani.

Penanganan di kabupatem/kota dan pemerintah provinsi, soal korban Covid-19 melewati satu pintu Gugus Tugas. Ketidaktahuan masyarakat terhadap hal ini, sering menimbulkan miss persepsi di tengah masyarakat, hingga berujung pemikiran wabah ini adalah konspirasi.

Tak heran masyarakat mengambil kesimpulan sendiri-sendiri ketika pasien yang masih dalam status PDP (pasien dalam pengawasan) wafat, ketika hasil swabnya belum keluar dan pemakaman harus sesuat prosedur Covid, sering bermasalah. Keluarga akan mengklaim pihak rumah sakit mengambil kebijakan sepihak memvonis pasien ternyangkit Covid tanpa menunggu hasil.

Padahal itu salah satu tindakan preventif yang dilakukan dengan atau tidaknya hasil swab negatif atau positif nantinya. Minimnya informasi masyarakat soal bagaimana manusia bisa terinfeksi Covid-19 harus menjadi perhatian serius.

Seperti yang diungkapkan Kementrian Kesehatan di halaman web-nya, tentang seseorang dapat terinfeksi dari penderita Covid-19. Penyakit ini dapat menyebar melalui tetesan kecil (droplet) dari hidung atau mulut pada saat batuk atau bersin.

Droplet tersebut kemudian jatuh pada benda di sekitarnya. Kemudian jika ada orang lain menyentuh benda yang sudah terkontaminasi dengan droplet tersebut, lalu orang itu menyentuh mata, hidung atau mulut (segitiga wajah), maka orang itu dapat terinfeksi Covid-19. Atau bisa juga seseorang terinfeksi Covid-19 ketika tanpa sengaja menghirup droplet dari penderita.

Inilah sebabnya mengapa kita penting untuk menjaga jarak hingga kurang lebih satu meter dari orang yang sakit.  Bak sebuah gunung es, wabah ini menyimpan seribu tanda tanya besar di kalangan masyarakat.

Riuh Covid-19 dengan berbagai macam simpang siurnya semakin heboh dengan berbagai kejadian-kejadian kontraversial di masyarakat dengan kitidakpatuhan mereka.

Minimnya informasi, kecenderungan masyarakat memanfaatkan sosial media menjadi literasi mutlak baik di lapisan  atas hingga bawah tanpa di filter lagi, seakan menjadi momok jika tidak cepat diantisipasi demgan edukasi dan informasi yang tepat. (***)