BERITABETA, Ambon – Tuntutan masyarakat adat  kepada Gubernur Maluku Said Assagaf terkait proses izin beroperasinya sejumlah perusahaan HPH di Pulau Seram, dinilai sebagai “bom waktu”.

Janji Gubernur untuk menurunkan tim kecil guna melihat dari dekat apa yang dikeluhkan masyarakat adat itu,  secepatnya harus dilakukan.

Demikian disampaikan Ketua Tim Hukum Masyarakat Adat,  M. Syahwan Arey, dalam konfrensi pers yang digelar, Selasa (13/11) di Poka, Ambon.

Dia mengingatkan, agar Gubernur Maluku  segera meredam gejolak yang terjadi yang memicu aksi demo ratusan masyarakat ada tanggal 7 November 2018 lalu.

Arey memastikan, hingga saat ini, sejumlah perusahaan masih melakukan aktivitas penebangan kayu di sejumlah hutan adat, baik di Kabupaten Seram Bagian timur (SBT), Seram Bagian Barat (SBB), maupun Maluku Tengah (Malteng).

“Proses penebangan ini bertabrakan dengan  aturan, sebagaimana  diatur dalam UU maupun peraturan pemerintah lainnya,” katanya.

Menurut dia, bila merujuk pada aturan UU, maka penebangan pohon  tidak boleh dilakukan di  kawasan hutan lindung ataupun daeran bantaran sungai. Apalagi ada jenis-jenis tanaman atau pohon tertentu yang tidak diijinkan untuk ditebang.

“Aktivitas  perusahaan yang beroperasi di Pulau  Seram,  sudah menyimpang dari aturan main dan kesepakatan sesuai UU,”tukasnya.

Perambahan di hutan-hutan adat, dinilai Arey merupakan bentuk pelecehan terhadap situs-situs adat masyarakat setempat yang dilindungi oleh UU.

Kehadiran perusahaan kata dia,   juga mem-porakporandakan tatanan budaya setempat.  Bahkan  ritual adat yang biasanya dilakukan di hutan adat terancam tidak bisa digelar, disamping dirampasnya mata pencaharian warga adat setempat.

Atas praktek-praktek itu,  Arey menduga, aksi tersebut telah ditunggangi oleh sejumlah pihak yang mencoba untuk meciderai tujuan luhur dari penyampaian aspirasi masyarakat adat pulau Seram  kepada Pemerintah Provinsi Maluku.

“Aksi demo kemarin  tidak ada kaitannya dengan unsur politik atau politik praktis,   termasuk agenda politik di tahun 2019 mendatang,”tegasnya.

Bahkan, lanjut dia,  tim biru yang dipimpinnya telah melaksanakan aksi untuk mempertahankan eksistensi adat istiadat masyarakat Maluku, meningkatkan perekonomian masyarakat, budaya masyarakat dan harga diri  masyarakat  bangsa adat  Maluku yang telah diinjak-injak selama ini.

“Tuntutan yang kami sampaikan,  agar kebijakan yang diturunkan kepada masyarakat setempat juga harus sampai ke masyarakat adat  sebagai pemilik lahan,  bukan hanya sampai pada desa-desa induk sebagaimana dipraktekkan selama ini,”tukasnya.

Sementara itu,  Pateki, salah satu tokoh muda masyarakat adat Nuaulu di tempat yang sama menjelaskan,   selaku refresentatif dari  masyarakat Nuaulu, dirinya  ingin mempertegas bahwa kehadiran perusahaan PT. Bintang Lima Makmur  yang beroperasi di Kabupaten Maluku Tengah, Desa Sepa, Kampung Rohua, sangat   mengancam kelestarian hutan adat Nuaulu yang tentunya berdampak pada adat  istiadat.

“Masyarakat  adat Nuaulu membutuhkan hutan tersebut untuk keberlangsungan adat Nuaulu ke depan. Penebangan hutan secara brutal, juga dapat memicu terjadinya kerusakan lingkungan yang berdampak pada bencana banjir, kekeringan  dan longsor yang sewaktu-waktu  bisa terjadi. Bencana itu kami yang rasakan, bukan bapak-bapak yang memberikan ijin,”tegasnya.

Saat ini diakuinya, ada tiga sumber mata air di Desa Noruhua  yang tidak bisa lagi dikonsumsi masyarakat Nuaulu,  karena  keruh dan tercemar akibat aktivitas perusahaan.

Sebelumnya,  dalam pernyataan sikap saat aksi demo damai digelar,   masyarakat adat  mendesak pemerintah mencabut ijin PT. Starat Pacific, yang beroprasi di Kecamatan Teluk Waru Kabupaten SBT,  izin PT. Bintang Lima Makmur di  hutan adat Suku Naulu Kabupaten Malteng,  izin PT. Nusa Ina Tanah Merah di Kec. Werinama,  izin CV. Titian Hijrah di suku Aboi Ahiolo Kabupaten SBT, dan  mencabut ijin  rencana transmigrasi di hutan adat ( kebun sagu )  suku Huaulu , Kabupaten Maluku Tengah. (BB-DIA)