BERITABETA, Ambon – Penolakan sejumlah pihak, terutama masayarakat adat di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Maluku Tengah dan Kabupaten SBT, terkait kehadiran perusahaan pemegang izin HPH, mulai disikapi Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Maluku.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Sadly Lie di Ambon, Senin (12/11/2018) menyampaikan pihaknya telah membentuk tim untuk menyikapi tuntutan itu. Tim dibentuk untuk melakukan peninjauan di lapangan.

“Aksi demo warga ini mengatakan ada perusahaan yang memasuki areal yang dianggap masyarakat adat sebagai daerah keramat, makanya kami telah membentuk tim untuk turun bersama mereka di lapangan,” kata Sadly Lie.

Menurutnya,  aksi demo tentang areal keramat, laporannya sudah ditindaklanjuti Gubernur Maluku, Said Assagaff dengan memerintahkan Dishut segera melanjutkannya ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Nanti hak dan kewenangan pemberian izin ada pada KLHK dan laporan kita menyampaikan sambil menunggu tanggapan balik, tetapi untuk membuktikan apa yang mereka sampaikan maka dinas akan turun ke lapangan,” ujarnya.

Kalau dari sisi perusahaan itu yang satu HPH di Kabupaten SBB belum ada izin karena masih dalam proses secara bertahap, beda dengan CV Bintang Lima itu sudah ada izinnya.

Desekan anak adat Sakamese Nusa terkait rencana izin HPH dengan mendatangi kantor DPRD Maluku

“Sekarang kalau tuntutan masyarakat itu terkait status hak-hak adat mereka, katanya ada perusahaan yang masuk beroperasi sampai ke areal kategori keramat sehingga Dinas Kehutanan akan melakukan peninjauan ke lapangan bersama masyarakat adat,” tandas Sadly.

Terkait persoalan adat, kata Sadly, ada regulasi  memberikan dukungan atau dengan kata lain negara mengakui keberadaan hukum adat dan pengakuan itu harus ada legal standing melalui sebuah peraturan daerah.

Mudah-mudahan Raperda tentang penataan desa dan desa adat yang sementara digodok Bapemperda DPRD bersama Pemprov Maluku bisa didorong secepatnya.

Namun untuk mengakomodir kepentingan atau hak-hak adat masyarakat itu, pemerintah telah mengeluarkan Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 tahun 2016 tentang perhutanan sosial dengan lima skema.

Di situ, tambah Sadly,  secara jelas mengatur bisa diusulkan menjadi hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan pola kemitraan.

Hak pengelolaannya akan diberikan kepada masyarakat kalau itu diusulkan sebagai hutan adat kepada masyarakat hukum adat dengan tujuan peningkatan kesejahteran.

Jadi perlu ada peninjauan lapangan terhadap aksi masyarakat yang menolak pengoperasian tiga perusahaan pemegang izin HPH di Pulau Seram, dan mereka memang prosedural.

Yang namanya izin sudah keluar pasti ada pertimbangan lain seperti dari sisi lingkungan dan analisis dampak lingkunagn (Amdal) dan tidak mungkin kementerian menerbitkan izin kalau belum ada Amdal.

“Hanya satu perusahaan yang sedang memproses izin HPH, sedangkan yang lainnya adalah Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yaitu peruntukan kawasan yang didalamnya ada ditumbuhi pohon secara alami,” kata Sadly.

Karena perkebunan itu harus clearing, maka untuk menebang pohon ada hak negara yang melekat pada pepohonannya, sehingga pemerintah memberikan IPK mengambil hak-hak negara berupa propisi sumberdaya hutan serta dana reboisasi seperti yang dilakukan PT. Titian Hijrah yang mengantongi izin perkebunan.

“Titian Hijrah bukan dalam kawasan hutan, tetapi masuk dalam areal pengguna lain. Bedanya kawasan hutan itu seperti hutan produksi dan hutan lindung, sedangkan areal pengguna lain bukan termasuk kawasan,” tegasnya. (BB-DIO)