BERITABETA, Ambon – Desekan anak adat Sakamese Nusa, terhadap rencana pemberian izin untuk beroperasinya dua perusahaan HPH di kawasan hutan adat Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), mulai menunjukan titik terang.

DPRD Maluku telah menyampaikan niatnya untuk menyurati Menteri Lingkungan Hidup agar bisa menangguhkan sementara proses penerbitan izin kepada dua perusahaan HPH tersebut.

“Berikan waktu bagi kami koordinasikan, ada Sekwan dalam proses ini untuk membuat surat DPRD atas dasar pertemuan ini kepada Menteri Lingkungan Hidup di Jakarta, Gubernur Maluku, dan Bupati Seram Bagian Barat terkait sikap DPRD atas aspirasi masyarakat,” kata Ketua DPRD Maluku, Edwin Adrian Huwae di Ambon, Sabtu (19/10/2018).

Surat itu intinya adalah menangguhkan sementara proses perizinan dan seluruh aktivitas perusahaan pada lokasi yang sudah diberikan izin, dan pelibatan masyarakat secara proaktif harus dikedepankan terutama untuk Bupati SBB.

“Kami ingin juga jangan semua manfaat kekayaan alam Maluku hanya keluar atau dinikmati perusahaan tertentu saja tanpa ada suatu dampak positif bagi keoentingan masyarakat,” tandasnya.

Ketua Komisi B DPRD Maluku, Ever Kermite juga ditugaskan menindaklanjuti pertemuan ini dan akan dipantau pimpinan dewan, dan sesuai mekanismenya akan dilakukan rapat koordinasi melalui fraksi dan komisi untuk mengambil sikap.

“Tetapi setelah ini saya keluarkan surat terlebih dahulu untuk menghargai para mahasiswa yang sudah datang hari ini,” ujar Edwin.

Sekwan segera konsepkan surat meminta penangguhan seluruh proses perizinan dan seluruh aktivitas perusahaan di lokasi yang sudah diberikan izin.

DPRD juga menyurati kementerian menangguhkan seluruh proses berkaitan dengan pemberian izin sebelum legislatif mengundang perusahaan memaparkan kegiatan mereka di lapangan dan apa saja yang menguntungkan masyarakat.

Salah satu perwakilan pendemo, Dominggus Tahya mengatakan ada penolakan dari masyarakat atas kehadiran dua perusahaan HPH dan ada kerusakan hutan yang dilakukan oleh PT Titian Hijrah.

“Ini fakta bahwa masyarakat sudah mulai trauma dengan kerusakan hutan yang dilakukan mereka, padahal izinnya adalah perkebunan kopi dan dampak sosialnya karena sebagian masyarakat itu istilah kasarnya ada sebagian yang `penjilat` maka bisa menimbulkan bentrokan,” katanya.

Sakamese nusa akan lebih parah lagi dari Gunung Botak kalau banyak perusahaan masuk dan beroperasi di sana karena dokumen amdal yang didapatkan, ternyata bukan satu perusahaan tetapi ada banyak perusahaan di dalamnya dan itu sudah direkomendasikan gubernur.

“Sebagai bentuk pertanggungjawaban gubernur, kami minta dengan hormat pimpinan DPRD bersedia mengundangnya hadir di sini karena sudah dua kali kami ingin bertemu tetapi beliau melarikan diri, makanya tadi saya bilang beliau pengecut,” kata Dominggus.

Karena kedatangan masyarakat adat dan mahasiswa ke sini mau mendengar pernyataan resmi gubernur tentang pemberian rekomendasinya.

Sedangkan juru bicara pendemo lainnya Thomas Manatuti mengatakan, alasan pemerintah tentu meningkatkan PAD tetapi masyarakat juga tetap mempertahankan haknya.

“Solusinya, pemprov kalau mau menjadikan hutan kami sebagai kawasan perkebunan, biarlah masyarakat yang diberdayakan dan kalau bisa Dinas Perkebunan Maluku bisa menyiapkan bibit sebanyaknya kepada masyarakat untuk menanam di lahan mereka, tidak perlu perusahaan masuk karena masyarakat menanam dan melestarikan,” tegas Thomas. (BB/DIO)