BERITABETA.COM, Ambon – Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pukat Seram, Fahri Asyathry meminta Gubernur Maluku Murad Ismail  untuk cepat bertindak menyikapi berbagai persoalan yang ditimbulkan akibat dari rusaknya lingkungan sumber daya alam (SDA) di Pulau Seram selama ini.

“Pengerukan SDA, pembalakan, penebangan tanpa pengawasan, pembabatan hutan untuk alasan perkebunan tentu saja berujung tragedi. Banjir, longsor, erosi, lumpuhnya transportasi darat, jembatan amblas, longsor dan sebagainya, adalah deretan dampak buruk yang harus dirasakan masyarakat,” tulis Fahri di akun facebooknya yang diunggah di Group Fecebook Pilar Masohi, Sabtu malam (8/6/2019).

Lewat catatan di status berjudul – “SDA Dikeruk, Alam Mengamuk dan Ancaman Yang Merayap” itu, Fahri mengungkap tentang kegiatan pembabatan pohon sagu demi menanam sawit adalah semacam tamparan keras dan memalukan bagi “local wisdom”  orang Maluku.

Masyarakat Adat Protes pemilik perkebunan kepala sawit Sihar Sitorus di Pulau Seram, Maluku Tengah, atas kepemilikan lahan yang tidak jelas

Menurutnya, sagu adalah identitas orang Maluku sejak ratusan tahun lalu, bukan sawit yang sangat menguras air tanah. Dan sejak pelimpahan kewenangan sektor kehutanan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov), tangan Peerintah Kabupaten (Pemkab) serasa buntung.

“Dengan berbagai dalih, korporasi bisa dengan leluasa mengeruk dan memperkosa sumber daya alam kita hari demi hari,” ungkapnya.

Efek buruk selanjutnya, kata aktivis asal Malteng ini,  pasca aktifitas korporasi pengeruk harta alam  adalah konflik soal lahan yang berujung pada kemiskinan dan penderitaan sosial berkepanjangan.

“Ini selalu kita saksikan. Rakyat selalu dikalahkan oleh kepentingan korporasi yang kerap di-back -up oleh elit birokrasi yang turut menjadi jongos rendahan korporasi bejat,” bebernya.

Fahry mengatakan, di zaman dulu, di kawasan Seram Utara Raya kasus banjir, kekeringan, kebakaran lahan bahkan kelaparan nyaris tidak  terdengar. Tetapi sekarang semua kata itu seperti langganan yang harus ditanggung rakyat, lebih-lebih menimpa  suku terasing.

Ia menguraikan, belum lama ini terjadi kebakaran hutan, setelah itu banjir yang merendam puluhan hektar sawah, dan kasus kematian akibat kelaparan yang membuat mata dunia terbuka lebar.

“Umbi yang ditanam petani tak lagi sesubur dahulu setelah masuknya ratusan hektar sawit tanaman penghisap air. Kasus kelaparan di tanah sesubur Pulau Seram benar-benar memalukan dan memilukan. Tak sampai disitu, hujan beberapa hari belakangan membuat jalan dan jembatan rusak parah, dampaknya merembet kepada problem ekonomi orang kecil,”tulisnya lagi penuh lirih.

Terhadap kejadian-kejadian ini, Fahri juga menyertakan sejumlah pertanyaan yang menohok dalam tulisannya itu. Entah sudah berapa ribu hektar hutan kita yang sedang digarap oleh korporasi di Pulau Seram? Entah sudah berapa banyak pohon sagu yang lenyap akibat aktifitas korporasi? Entah sudah berapa juta barel minyak yang disedot dari perut bumi kita di Pulau Seram? Entah sudah berapa ratus ribu kubik pasir dan bebatuan yang diangkut keluar Pulau Seram? Entah sudah berapa trilyun kekayaan Pulau Seram diserap dan dibawa keluar?

Atas semua pertanyaan mendasar itu, tambah dia, hanya  membutuhkan “good will” pemerintah, membutuhkan keberanian dan komitmen, bukan menjadikannya sebagai alat bargaining untuk melanggengkan kekuasaan.

Semua deretan tragedi langganan diatas hendaknya tidak dilihat lantas dikonversi menjadi rupiah yang harus dirancang sebagai proyek empuk untuk dinikmati oleh segelintir orang.

“Dibutuhkan riset mendalam dan keseriusan Pemprov Maluku dibawah kepemimpinan Gubernur Murad Ismail untuk membenahi semua rentetan problem ini. Kita butuh suatu pembuktian komitmen kepemimpinan agar sirkulasi kekuasaan benar-benar membawa manfaat kepada rakyat, bukan hanya elit yang sibuk dengan agenda pembagian kekuasaan,” tandasnya. (BB-DIO)