‘Blooming’ Fitoplankton, Warga Ambon Diminta Tidak Konsumsi Biota Laut yang Mati Terdampar
BERITABETA. COM, Ambon – Insiden ledakan (blooming) fitoplankton beracun jenis Dinoflagelata Gonyaulax yang terjadi di Teluk Ambon kini menjadi perhatian serius Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon.
Dinas Lingkungan Hidup dan Persampahan (DLHP), Kota Ambon, Kamis (10/1/2019) menyurati sejumlah camat di Kota Ambon agar menghimbau kepada seluruh warga pesisir untuk tidak mengkonsumsi biota laut, baik keong, ikan dan sejumlah jenis biota laut yang ditemukan mati terdampar di pesisir Teluk Ambon.
Dari copian surat bernomor 050/15/DLHP yang juga diterima beritabeta.com itu, disampaikan kepada para camat agar memberitahukan kepada warga pesisir di wilayah masing-masing, sebagai tindakan antisipasi atas akibat yang ditimbulkan.
Surat pemberitahuan ini ditandatangani Kepala DLHP, Kota Ambon Ir. Lucia Izaak, menyusul adanya pernyataan yang disampaikan Peneliti Pusat Penelitian Laut Dalam-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2LD-LIPI), Hanung Agus Mulyadi di Ambon, Jumat (11/1/2019).
Hanung dalam pernyataannya menyampaikan kejadian blooming fitoplankton beracun dapat mengakibatkan berkurangnya kadar oksigen di perairan dan memicu kematian ikan.
Ledakan itu, kata dia, terjadi sejak Kamis (10/1/2019) pagi, dengan luasan mencapai 31 hektare di perairan Desa Lateri dan Passo, Kecamatan Baguala hingga kawasan guru-guru, Poka, Kecamatan Teluk Ambon.
Tingkat kepadatan ledakan terbilang tinggi, yakni 9×100 ribu sel per liter hingga 2,5×1000 juta sel per liter. “Untuk kewaspadaan disampaikan kepada masyarakat adalah telah terjadi blooming selama dua hari, diperkirakan luasannya sekitar 31 hektare, lumayan luas untuk ukuran perairan,” jelasnya.
Potensi kerugian yang diakibatkan oleh alga jenis ini termasuk yang perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan oxygen depletion atau berkurangnya kadar oksigen di perairan, sehingga bisa memicu kematian ikan.
Kendati sejauh ini belum ada laporan resmi terkait kematian ikan yang diakibatkan oleh ledakan Dinoflagelata Gonyaulax, warga diminta untuk waspada dengan tidak mengkonsumsi ikan-ikan yang mati mengambang di Teluk Ambon.
“Apakah kalau dikonsumsi ikannya berbahaya, secara teori fitoplankton beracun ini tidak akan rusak ketika dimasak, dibakar atau semacamnnya, racunnya masih tetap menempel di ikan,” tambahnya.
Menurut dia, ledakan Dinoflagelata Gonyaulax di Teluk Ambon baru diketahui oleh pihaknya pada Kamis sore saat memantau kondisi perairan Teluk Ambon, dan menemukan terjadi perubahan warna air laut yang kecoklatan dan agak berlendir.
Sampelnya kemudian dianilisa di Laboratorium Fisika oleh tim peneliti yang terdiri dari Hanung Agus Mulyadi, Sem Likumahua, Salomy Hehakaya, La Imu, William Merphy Tatipata dan Muhammad Fadly.
“Tim balik lagi ambil sampling ternyata blooming sudah terjadi sejak kemarin sekitar jam 10.00 pagi menjelang siang, tapi kemarin kami tidak melakukan pelacakan area blooming jadi tidak tahu apakah memang luasannya memang 31 hektare sejak kemarin,” ucapnya.
Menurutnya, ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi ledakan Dinoflagelata Gonyaulax, di antaranya tingkat kesuburan dan ketersediaan oksigan di perairan. Sejauh ini hasil riset menunjukan kondisi perairan yang terkena ledakan berbeda jauh dengan di sekitarnya.
Temperatur permukaan area ledakan sebesar 30,9 derajat celcius, salinitas permukaan 30,5 psu dengan kelimpahan klorofil-a mencapai 30 hingga 50 miligram per meter kubik.
Sementara suhu permukaan area yang tidak terdampak adalah 31,1 derajat celcius, salinitas 32,1 psu dengan kandungan klorofil-a sebesar 0,50 hingga 0,62 miligram per meter kubik. “Kelimpahan klorofil di lokasi blooming tinggi sekali, kisaran normalnya sekitar 0,2 hingga 0,4 miligram per meter kubik, tapi di sini sampai 50 miligram per kubik. Besok masih akan dipantau lagi oleh tim, apakah areanya semakin meluas atau semakin menipis,” ujar Hanung.
Hasil Penelitian Sebelumnya
Sebelumnya pada tahun 2014 silam, Hanung Mulyadi mengatakan potensi ledakan populasi sel fitoplankton atau alga (ganggang) beracundi Teluk Ambon cukup mengkhawatirkan dibandingkan tahun – tahun sebelumnya.
“Dari data hasil monitoring pada 2014, kami bisa mengatakan bahwa potensinya agak mengkhawatirkan karena intensitas tingkat kejadian munculnya ledakan populasi fitoplankton lebih sering dan lokasinya juga lebih banyak,” katanya di Ambon.
Menurut Hanung yang juga ketua Tim Monitoring Teluk Ambon, sedikitnya ada tiga jenis fitoplankton yang terdeteksi berpotensi mengalami ledakan populasi, yakni Trichodesmium eryathrum, Dinophysis caudata, Dinophysis miles, Pyrodinium bahaamense dan Noctiluca scintillans.
Berbeda dengan Trichodesmium eryathrum, empat alga jenis lainnya sangat berbahaya jika terkonsumsi oleh manusia melalui kerang maupun biota laut yang ada di Teluk Ambon.
Dinophysis caudata dan Dinophysis miles misalnya, kata dia, bisa menyebabkan Diarrhetic Shellfish Poisoning (DSP), Pyrodinium bahaamense dapat mengakibatkan Paralytic Shellfish Poisoning (PSP), sedangkan Noctiluca scintillans menyebabkan red tide atau perubahan warna perairan.
“Trichodesmium walaupun mengalami blooming namun tidak berbahaya, tapi yang lainnya apabila menempel di biota lain dalam jumlah banyak dan dimakan oleh manusia bisa menyebabkan keracunan, diare dan semacamnya,” katanya.
Dikatakannya, adanya sel alga beracun di Teluk Ambon mulai terdeteksi sejak tahun 1994, tetapi tingginya intensitas ledakan populasi biota tersebut baru terjadi selama tiga tahun terakhir, yakni pada 12 juli 2012, Februari dan Maret 2013, dan 2 Juli 2014.
Ledakan populasi fitoplankon tertinggi terjadi pada 2 Juli 2014, sekitar pukul 10.00 WIT di perairan Teluk Ambon di Desa Waiheru, Passo dan Halong, Kecamatan Baguala, kelimpahannya mencapai 7,4 x 10.000.000 sel per meter kubik dan menyebabkan perubahan warna air laut.
“Saat itu saya prediksikan hitungannya bisa dua atau tiga hari, setelah tiga hari fitoplankton akan tenggelam ke dasar perairan dan mati karena secara alami blooming akan cepat berakhir ketika plankton itu tidak mendapatkan cukup nutrien untuk beroproduksi,” katanya. (BB-DIO-ANT).