Boboti Petani Milenial di Ambon, Mercy Barends : Leitimur Selatan Jadi Modeling Agrowisata Berbasis Dusun
BERITABETA.COM, Ambon - Anggota DPR-RI Daerah Pemilihan (Dapil) Maluku, Mercy Chriesty Barends menyatakan dukungannya terhadap pengembangan pertanian berbasis kepulauan, terutama dengan mendorong Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon menjadi wilayah agrowisata organik berbasis dusun.
Keinginan ini disampaikan dalam workshop pertanian "Pentingnya penguatan sektor pertanian berbasis kepulauan dalam menghadapi dampak perubahan iklim global,” yang dihadiri sebanyak 30 orang petani milenial di Kecamatan Letisel, Sabtu (23/10/2021).
"Hari ini kita menghimpun sejumlah pihak dalam sebuah kolaborasi inovatif dan cerdas, menghadirkan pemerintah, akademisi dan kami dari DPR RI serta masayarakat dengan tujuan untuk mengembangkan Kecamatan Leitimur Selatan menjadi Kawasan modeling untuk pengembangan Agrowisata rempah dan berbasis dusun," kata Mercy Barends kepada wartawan usai mengikuti kegiatan tersebut.
Anggota Komisi VII DPR-RI ini menilai kondisi wilayah Leitimur Selatan sangat cocok untuk pengembangan agrowisata berbasis dusun, khususnya untuk tenaman rempah-rempah dan buah-buahan.
Selain itu, dusun pada umumnya, merupakan areal yang dikembangkan masyarakat sebagai lahan berkebun berbagai jenis tanaman produktif secara tradisional dan lebih mengandalkan alam sekitarnya.
“Nah dalam konsep pertanian berbasis kepulauan ini, kita ingin selain produktivitas meninggat, masyarakat sejahterah dan juga lingkungan terjaga,”ungkap Mercy.
Apalagi, kata dia, wilayah Leitimur Selatan yang sebagai besar pegunungan dan pantai, dinilainya merupakan salah satu dari lima kecamatan di ibu kota provinsi Maluku yang tidak berkembang, padahal wilayah itu sejak dahulu terkenal sebagai salah satu daerah penghasil rempah cengkeh dan pala serta buah-buahan.
"Dulu kalau ingin makan salak atau durian orang di Ambon akan mencari mama-mama ibu-ibu penjual keliling dari Negeri Kilang, Naku dan Hukurila. Tapi sekarang sudah sangat jarang karena produksi buah-buahan semakin sedikit," tandasnya.
Hal ini, kata Mercy terlepas dari berbagai factor yang berpengaruh, salah satu factor penentunya adalah kurangnya generasi muda dari kecamatan Leitimur Selatan yang tidak tertarik untuk berkebun dan memilih profesi lain seperti pengojek dan sebagainya.
Untuk itu, lewat pelatihan yang digelar ini diharapkan mampu mengubah cara pandang dan berpikir generasi muda di Leitimur Selatan untuk mengembangkan pola pertanian berbasis kepulauan yang bersifat berkelanjutan.
Para petani di daerah itu juga akan dilatih mengembangkan tanaman rempah pala dan cengkeh serta buah-buahan secara organik melalui pola pertanian dan budidaya yang baik dan benar, sehingga produktivitasnya lebih meningkat dan memenuhi standar dan kualitas ekspor.
"Pola pertanian organik itu bukan sekedar gali kolam, tanam dan dibiarkan untuk tumbuh sendiri. Tetapi harus ada perlakuan khusus dimulai dari proses pembibitan, pola penanaman hingga pemeliharaan dan pascapanennya," katanya.
Jika pengembangan pertanian dan perkebunan berorientasi ekspor, maka selain hasil panen yang melimpah, hasil rempah-rempah memenuhi standar kualitas untuk diekspor.
Politisi PDI-Perjuangan asal Maluku ini juga meminta Dinas Pertanian Maluku serta akademisi Unpatti Ambon untuk membantu warga menghitung nilai ekonomi dusun atau kebun mereka masing-masing, sehingga generasi muda lebih tertarik untuk mengembangkannya.
“Saya akan dating kembali untuk membicarakan rencana pengembangan program tersebut dalam skala jangka panjang, termasuk mengupayakan bantuan pengembangan dari kementerian dan lembaga terkait,” urainya.
Sementera itu, Kabid Perkebunan Dinas Pertanian Maluku, Donny Lekatompessy menegaskan, pola bertani tanaman rempah di Maluku, termasuk di Leitimur Selatan yang masih tradisional sudah waktunya diubah.
Perubahan dimaksud, teruatama terkait standar dan kualitas komoditi ekspor, sehingga pola pengembangan rempah perlu diubah.
“Tidak harus lagi mengandalkan alam untuk pertumbuhan, tetapi diberi perlakuan khusus sejak dari bibit hingga panen," jelas Donny.
Donny mengaku, banyak petani rempah di Maluku sudah mulai tidak tertarik mengelola pala dan cengkeh, dikarenakan selain serangan hama, umumnya pohonnya telah berusia tua, sehingga berpengaruh terhadap kualitas serta produksi yang menurun.
Produksi yang menurun membuat para petani lebih banyak menjual kepada tengkulak atau pedagang pengumpul dengan harga yang rendah.
Selain itu, saat konflik sosial melanda Maluku 1999, ekspor komoditi rempah dari daerah ini sempat terhenti, dan saat ini mulai dirintis kembali.
“Nah saat ini komoditinya harus melalui proses sertifikasi produk di Bali, Surabaya dan Jakarta. Dan inilah yang harus didorong untuk dipahami oleh petani kita,” tutupnya (*)
Pewarta : dhino.p