Pada dasarnya, semua agama memiliki keunikan doktrin dan ritual masing-masing. Namun, jelas semua agama memiliki kesamaan etika sosial dalam menjunjung nilai kemanusiaan. Kekhasan dan kesamaan tersebut dengan tepat dan apik terangkum dalam nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang menekankan para pemeluk agama untuk saling menghormati agama dan para pemeluknya. Pancasila menjadi titik penting semangat keberagaman yang menyatukan, bukan menceraikan atau melemahkan.

Ini adalah nilai yang sejalan dengan semangat yang diusung Maruarar Sirait dan pidato keren Cinta Laura Kiehl. Tentu saja, sekali lagi, idealitas tersebut tidak akan pernah semudah membayangkan kesuksesan bagi jalan persemaian dan penguatan Moderasi Beragama pada masyarakat maupun lembaga pendidikan.

Tantangan dan Keyakinan

Tidak lama setelah pidatonya yang bersemangat dan berani ala anak muda, banyak komentar miring yang ditujukan pada pidatonya. Lucunya, jika memang layak dikatakan demikian, banyak di antara para penulis tersebut adalah generasi yang berjarak jauh dari Generasi Z dan Millenial, dengan asumsi dan cara pandang yang cenderung berlebihan.

Dalam komentar miring tersebut, Moderasi Beragama dikatakan menjadi bagian dari upaya menyamaratakan kebenaran agama dan menyandingkannya dengan pemahaman negatif mengenai pluralisme dan relativisme agama. 

Puncaknya, meskipun terdengar anekdotal, Moderasi Beragama disalahartikan sebagai Modernisasi Beragama.

Beragam pandangan minor tersebut tentu saja hanya layak dipahami sebagai pekerjaan rumah yang harus segera dibereskan. Langkah Kementerian Agama dengan menerbitkan buku-buku Moderasi Beragama dari perspektif semua agama perlu disegerasampaikan kepada publik.

Beragam kemasan Moderasi Beragama yang kekinian, tanpa kehilangan makna dasarnya, perlu dikembangkan untuk mengimbangi dan menginspirasi tumbuhnya nalar keberagaman dan keberagamaan yang ditopang kemampuan critical thinking sebagai prasyarat kecakapan hidup generasi mendatang.