Oleh : Mary Toekan Vermeer (Pengagum Sejarah Islam)

Beberapa tahun terakhir ini di negeriku, istilah agnostik mulai terdengar semakin akrab, terselip dalam perbincangan di kalangan anak - anak muda. Akhir tahun 2021, Media and Religious Trend in Indonesia (MERIT), dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melakukan survei tentang ‘Beragama Anak Muda’. 

Hasilnya, generasi milenial dan generasi Z paling rendah tingkat religiusitasnya. Survei ini melibatkan 1.214 responden yang tersebar di 34 provinsi. Survei yang dilakukan pada 13 - 22 Oktober 2021 ini fokus pada populasi muslim dewasa (usia 17 tahun ke atas). Margin of error survei ini adalah 2,8% dengan tingkat kepercayaan 95%.

Profil demografi responden dalam penelitian ini yaitu 49.57% responden laki-laki, dan sisanya sebesar 50.43% adalah perempuan. Secara usia, survei ini mencakup generasi silent/boomer yang berusia 57 - 83 tahun di tahun 2021 dengan proporsi sebesar 14.02%.

Survei lain dari Aliansi Ateis Internasional ( AAI ) menyatakan bahwa dari 1.757 responden, 36,9% mengaku ateis dan 20,3% mengatakan agnostik (mengakui Tuhan tapi tak memilih satu agamapun).

Deretan angka - angka ini terus bertambah naik dalam lima tahun terakhir. Oleh Pew Forum on Religion & Public Life, golongan ini kebanyakan dulunya beragama Protestan ( 33,7 %), disusul Katolik ( 31,3 %), dan Islam ( 10 %).

Padahal jelas tak bisa dipungkiri,  kecenderungan manusia akan selalu terpaut pada Tuhannya. Menjadi fitrah setiap  jiwa. Karenanya dulu, ketika manusia belum mengenal Tuhannya, segala batu, pohon, patung dan sejenisnya menjadi tempat bermohon.

Ketika tirai misteri alam baru sedikit saja diizinkan Allah SWT tersingkap, susunan batu bata pelindung iman generasi muda Muslim, seakan porak poranda di terjang angin puting beliung, tanggal satu persatu.

Sebegitu ringkihkah bangunan itu hingga tak mampu menahan invasi intelektual? Semakin banyak hal bisa menyentuh nalar, semakin bertambah pula manusia mengagungkan rasionalitasnya.

Dan Tuhanpun dipinggirkan. Agnostik berasal dari bahasa Yunani Kuno. A yang berarti tanpa dan Gnosis berarti pengetahuan. Jadi sebenarnya arti agnostik itu " tidak berpengetahuan " atau bisa diartikan dengan " tidak mengetahui ".

Paham agnostik sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Namun kata agnostik sendiri baru pertama kali dipopulerkan secara terbuka pada tahun 1869.

Dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, agnostik diciptakan akhir abad sembilan belas. Pencetusnya adalah ahli biologi asal Inggris. Seorang juara kompetisi kajian teori evolusi Darwin, T.H. Huxley di pertemuan Masyarakat Metafisik di London.

Dia berargumen bahwa, karena tidak satu pun dari kepercayaan yang cukup memberikan  bukti, maka manusia harus menangguhkan penilaian tentang masalah apakah Tuhan itu ada atau tidak.

Doktrin ini semakin menular ketika para filsuf terus mempertanyakan keberadaan kekuatan tak terlihat atau yang disebut Tuhan.

Dunia telah mengakui bahwa zaman keemasan Islam, ilmu pengetahuan dan teknologinya mengantarkan Barat keluar dari masa kegelapan penuh tragedi. Tragedi yang meninggalkan luka teramat dalam. Menyisakan   trauma dengan yang namanya Tuhan.

Jadi tak heran, begitu peradaban ini keluar menghirup udara segar bermandikan cahaya matahari, mereka menjadi liar. Terbebas dari segala macam bentuk aturan agama. Mereka mengadopsi kecanggihan ilmu umat Muslim, tapi berlepas diri dari kekuasaan Tuhan.

Bacalah kisah - kisah menyedihkan di masa kegelapan ( the dark ages ). Bacalah perjalanan peradaban Barat ( Western Civilization ), periode inkuisisi yang menghilangkan nyawa - nyawa manusia. Masa - masa penuh derita, pahit dan getir.

Lalu jadilah peradaban ini tumbuh tanpa parameter, menjadi peradaban tanpa agama (kitab suci), tanpa otoritas teologi atau peradaban tanpa Tuhan.

Filsafat dan sains di Barat menjadi area bebas Tuhan. Tuhan berikut agama-Nya tidak ada hubungannya dengan ilmu di dunia empiris.

Adalah Nietzsche. Lengkapnya Friedrich Wilhelm Nietzsche ( 1844 – 1900 ). Ia dikenal sebagai " sang pembunuh Tuhan " (dalam Also sprach Zarathustra).

Menurutnya, Tuhan hanyalah mitologi dalam khayalan yang kemudian menjadikan nasib dunia Barat laksana sedang berjalan dalam ketiadaan yang tanpa batas.

Ia adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks - teks kuno, filsuf, kritikus budaya, penyair dan komposer.

Sementara Feurbach, Charles Darwin, Sigmun Freud, dan Karl Marx menegaskan, jika Tuhan belum mati, maka tugas manusia rasional untuk membunuhnya. Dan mereka pun sepakat membunuh Tuhan.

Lain Nietzche lain pula Albert Einstein (1879 –1955). Einstein percaya bahwa masalah Tuhan adalah masalah tersulit di dunia. Sebuah pertanyaan yang tidak dapat dijawab hanya dengan ya atau tidak.

Sebagai pemikir bebas, Einstein masih percaya Tuhan. Hanya saja landasan kepercayaannya itu, tidak dibangun di atas doktrin Agama. Itulah mengapa ia menyebut dirinya seorang  agnostik.

Setelahnya, paham ateis dan agnostik terus berkembang. Orang - orang yang kerap menyangsikan konsep agama dan keberadaan Tuhan pun ramai - ramai membeo.

Bagi mereka, agama hanyalah masalah pilihan. Bukan sebuah kebenaran ilahi. Wajar jika  hampir semua anak - anak muda di Barat 95% berakhir “ memilih ” untuk menjadi ateis ataupun agnostik. Natal yang baru saja dilewati, hanyalah sebuah suguhan pesta di ujung tahun.

Cara berpikir seperti ini tak pernah ada dalam Islam. Bayangkan sekelas Einstein, orang yang disematkan dengan kata jenius itu, tak mampu menangkap sinyal ilahi.

Pantaslah, ketika kembali Allah SWT menitipkan ajaran-Nya pada Rasulullah Muhammad SAW sebagai duta terakhir negeri akhirat, kalimat pertama sebagai fondasi perjalanan manusia menjelajahi bumi adalah bacalah. Bacalah dengan nama Tuhan-Mu yang menciptakan.

Berawal dari kalimat ini, lahirlah para ulama dan cendekiawan Muslim yang menguasai banyak bidang ilmu pengetahuan. Mereka laksana bintang - bintang yang bersinar di malam hari.

Sebut saja Ibnu Khaldun. Seorang tokoh terpenting dalam bidang sejarah dan sosiologi. Lengkapnya Abu Zayd Abd al  - Rahman ibnu Muhammad ibnu Khaldun al - Hadrami ( 1332 - 1406 ).

Beliau adalah bapak sosiologi modern yang diakui Barat, sebagai pemikir yang memberi pengaruh besar bagi cendekiawan Barat dan Timur, baik Muslim maupun non Muslim.

Ia juga dinisbatkan sebagai bapak ekonomi. Teori ekonominya telah ada jauh sebelum teori ekonomi Adam Smith (1723 - 1790) yang digunakan hari ini.

Muḥammad ibn Musa al - Khwarizmi (780 - 850), seorang ilmuwan yang menyumbangkan pemikiran terbesarnya dalam bidang ilmu matematika dalam kitab al - Mukhtasar fi Hisab al -Jabar wa al - Muqabalah ( Kompendium tentang Hitung Aljabar dan Persamaan ) tahun 825 . Karya - karyanya sangat berpengaruh bagi peradaban manusia.

Mark Zuckerberg, pemilik Facebook ini, bahkan  sangat mengidolakan Al - Khawarizmi. Karena tanpa Algoritma dan Aljabar, maka jangan pernah bermimpi ada Facebook, Whats App, BBM, Line, games bahkan komputer, katanya dalam salah satu komentarnya di media sosial.

Dari kalangan wanita, ada Mariam al - Astrolabiya al - Ijliya, hidup pada abad ke-10 di Aleppo, Suriah. Ia seorang mujahidah, wanita pertama yang dikenal sebagai insinyur mesin dalam bidang astronomi.

Mariam diakui ilmuwan Barat sebagai peletak batu pertama membangun astrolabe, alat penentu posisi matahari dan planet-planet. Saat ini, kita mengenal astrolobe sebagai versi modern Global Positioning System (GPS).

Jika agama menumpulkan ketajaman daya pikir seseorang, lalu mengapa begitu banyak para cendekiawan Muslim berkilau, cahayanya tak redup hingga abad modern ini ?

Jadi, berada dimana sebenarnya anak - anak muda Muslim?  Jangan bercermin pada masa lalu yang salah. Islam tak punya catatan trauma beragama. Justru sebaliknya Islam telah membuktikannya lewat sejarah yang dicatat dengan tinta emas.

Banjir informasi memang membuat percepatan paham - paham ini melaju tak terbendung, ibarat virus, merusak kecerdasan generasi muda Islam. Ketidaktahuan generasi muda Muslim akan kehebatan dan kebesaran agamanya, menjadikan paham ini seakan menyilaukan mata.

Agnostik dianggap sebagai gaya hidup modern. Generasi ini merasa seakan " lebih intelektual " bila mengakui dirinya seorang agnostik. Apa yang bisa diandalkan dari intelektual seseorang tanpa iman ?

Ketahuilah bahwa Iblispun mengakui keberadaan Tuhan dan tak mau tunduk pada aturan agama. Peradaban Barat telah sampai pada puncaknya. Sebentar lagi akan turun, digilir oleh Allah kepada yang lainnya. Tak ada yang abadi di muka bumi ini.

Umat Islam seperti baru terbangun dari tidur panjangnya. Kita terkagum - kagum dengan bangsa - bangsa yang sebelumnya justru kitalah yang  mengajari mereka membaca.

Dunia seakan terbalik. Generasi Muslim laksana bayangan yang terus mengekor kemana tuannya melangkah.

Jangan benturkan iman dan akal. Sejatinya  kedua sisi ini ibarat cinta sejati, sehidup sesurga. Sebab tanpa iman, akal tak sanggup mencerna sendiri, membuat kita terperangkap, hanya berputar - putar sekeliling alam. Meski beribu tahun tak tahu di mana akhirnya.

Bagi Muslim, menggunakan kemampuan untuk berpikir adalah sebuah keharusan. Bawalah hatimu ketika sedang menyelami sebuah bidang ilmu sebab di dalam hatimu bersemayam iman yg akan menggiringmu mengenali Tuhanmu.

Seandainya generasi ini mengerti bagaimana indahnya Islam, bagaimana sempurnanya agama ini, niscaya mereka akan jatuh cinta berulang - ulang kali, bukan malah melayang di ruang hampa udara.

Pergantian tahun ini hanyalah sebuah sinyal, bahwa setiap seratus tahun akan lahir seorang pembaharu.

Apakah itu nanti anak - anak kita ? In sha Allah, semoga Allah mengijabah doa - doa setiap orang tua yang disorongkan ke langit Allah SWT. Aamiin.

" Sesungguhnya Allah akan menurunkan setiap permulaan 100 tahun seorang mujjadid kepada umat yang akan ( tajdid ) mengembalikan kegemilangan agama mereka ". (HR : Abu Dawud no. 4291, dishahihkan oleh as - Sakhawi dan al - Albani).

Geldrop, 8 Jumadil Akhir 1443 H.