ISU pangan sempat disentil dalam dialog Pilpres sesi pertama semalam. Bermula dari topik korupsi kemudian merembet ke masalah impor pangan yang kini dilakukan pemerintah di bawah kendali  Presiden Jokowi. Pertanyaan Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto terkait masalah impor, sebenarnya belum tuntas disampaikan.

Tersirat dalam pertanyaan itu, Prabowo sepertinya ingin menyampaikan kebijakan impor pangan jenis beras, gandung dan sebagainya adalah berpotensi korupsi. Data yang digunakan Capres adalah statemen para pambantu Presiden yang berkompoten terhadap proyek impor ini. Tapi sayang, pertanyaan itu ditangkis oleh Capres nomor urut 1 Jokowi dengan jawaban yang sekiranya cukup menghentak.

“Itu dinamika, setiap menteri saya berikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat di setiap rapat kabinet, tapi ketika saya memutuskan, impor tetap dijalankan, begitu pun sebaliknya,” kira-kira demikian stateman Presiden Jokowi tadi malam.

Jawaban Capres incumbent  ini bag bola liar, karena  dapat disimpulkan oleh orang awam bahwa, kebijakan impor atau pun tidak adalah keputusan Presiden. Atas jawaban ini, tentunya akan menimbulkan sejumlah pertanyaan. Pertama, kenapa harus impor di tengah intervensi pembangunan yang makin menggila ssat ini?

Kedua, kemana saja hasil dari kebijakan program diversifikasi pangan dengan seabrek konsep yang dikembangkan selama ini ? Ketiga, bagaimana nantinya masa depan kaum tani kita?  Dan keempat, mana yang harus dipegang atau dipercaya  dari pernyataan para pembantu presiden itu?

Apakah produksi pangan dalam negeri kita sudah cukup seperti yang disampaikan Kepala Bulog dan Mentan? Atau benar apa yang disampaikan Menteri Perdagangan RI bahwa stok pangan kita terbatas.  

Sungguh ini rentetan pertanyaan yang tentunya cukup mengganggu nalar setiap orang yang berkecimpung di dunia pertanian. Para sarjana, akademisi, teknokrat, ilmuan dan birokrat sampai petani kita, sepertinya tidak mampu membangun kemandirian pangan yang pernah diukir di masa lampau. Dan yang lebih menyakitkan, negara ini menyandang lebel ‘Agraris’ tapi nyatanya pangan yang dikonsumsi didatangkan dari negara lain.

Soekarno menemui jauh lebih banyak kesulitan dan tantangannya di dalam negeri. Tingkat ketergantungan terhadap jenis tanaman beras masih tergolong tinggi. Sekalipun demikian, Indonesia di masa itu belum pernah tercatat mengalami krisis pangan yang menyebabkan kasus kelaparan seperti yang pernah dialami oleh India dan China. Dalam beberapa periode, harga kebutuhan pokok sempat mengalami lonjakan harga yang cukup tinggi.

Tetapi lonjakan harga tersebut tidak banyak berimbas di wilayah pedesaan yang relatif masih menerapkan pola diversifikasi bahan makanan. Pola kebijakan pertanian di masa Soekarno memang lebih menitikberatkan pada jenis tanaman lokal sebagai komoditi utama. Misalnya seperti jenis sagu di Maluku dan Papu atau nasi jagung di Sulawesi.

Pemerintahan Indonesia  saat itu juga membentuk badan penyangga pangan yang disebut Badan Urusan Logistik atau Bulog pada tanggal 14 Mei 1967. Tugas pokok dari Bulog adalah berfungsi sebagai agen pembeli beras tunggal. Berdirinya Bulog sejak awal diproyeksikan untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia melalui dua mekanisme yakni stabilisasi harga beras dan pengadaan bulanan untuk PNS dan militer.

Pada prinsipnya, Bulog nantinya akan menjadi lumbung nasional yang tugas utamanya untuk menjaga pasokan (supply) komoditi pangan dan menjaga stabilitas harga tanaman pangan utama.

Setelah masuk ke era Orde Baru, pembangunan di sektor pertanian tetap menjadi prioritas program kerja kabinet. Selama dua periode PELITA (Pembangunan Lima Tahun) dari tahun 1969-1979, kebijakan pembangunan lebih banyak dikonsentrasikan untuk memperkuat basis sektor pertanian. Program revolusi hijau (green revolution) guna mendukung percepatan pencapaian swasembada beras pada tahun 1974.

Pada tahun 1971, Bulog mendapatkan tugas/peran baru, yaitu mempunyai tugas sebagai pengimpor gula dan gandum. Biaya besar untuk mendukung program pertanian tersebut ditopang oleh ekspor migas yang mencapai puncak harga tertinggi pada pada pertengahan dekade 1970an.

Soeharto punya ambisi yang kuat untuk mempercepat swasembada beras yang belum pernah dicapai sejak masa kemerdekaan. Salah satunya adalah dengan mengadopsi program revolusi hijau sejak tahun 1974.

Sayangnya, program yang berbiaya mahal tersebut ternyata hanya menghasilkan swasembada beras pada tahun 1984, 1985, dan 1986 (berdasarkan laporan statistik pertanian dari BPS). Sesudahnya, Indonesia kembali menjadi pengimpor beras, bahkan menjadi pengimpor beras terbesar di Asia Tenggara. Program revolusi hijau ini pun hanya menguntungkan petani kaya atau pemilik lahan dengan luas lahan lebih dari 1 hektar.

Setelah beras, pemerintah berusaha untuk menutupi kekurangan pasokan dalam negeri dan impor dengan mendatangkan (impor) gandum. Bila semula diberikan kewenangan ke Bulog, maka kewenangan untuk mengimpor gandum itu pun akhirnya diserahkan ke Bogasari (swasta). Awalnya, pemerintah mencoba untuk membudidayakan jenis tanaman gandum, tetapi upaya ini sulit terwujud, karena tanaman gandum memang kurang cocok untuk jenis tanah pertanian di Indonesia.

Jadi isu pangan dengan impor yang saat ini terjadi, bisa disebut sebagai warisan dari pemerintahan sebelumnya. Mungkinkan kebijakan impor pangan ini  menjadi lahan subur korupsi seperti yang disentil Prabowo? Jika sejarah pemerintahan Soekarno bisa mencetak prestasi yang cukup gemilang, kenapa di masa transpormasi pertanian dengan seabrek aplikasi teknologi yang kini bergeliat, sejarah itu tak mampu diulang?  Semoga topik ini kembali mengemuka di agenda dialog Pilpres berikutnya (*)