(Telaah Normatif tentang Delik Formil)

Oleh : Jermias Rarsina (Advokat & Dosen Hukum UKI Paulus Makassar)

KEJAHATAN perbankan dalam bentuk transaksi keuangan ilegal di Indonesia sudah banyak terjadi. Kita ambil salah satu contoh kasus yang lagi santer yaitu di Bank BNI Cabang Maluku (KC) dan beberapa kantor cabang pembantu (KCP). Saat ini kasus tersebut sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Ambon.

Dalam praktek hukum, kejahatan perbankan biasanya berafiliasi dengan berbagai tindak pidana, antara lain; korupsi, TPPU (kejahatan pencucian uang), tindak pidana mengenai transfer dana. Dan kejahatan perbankan bila berhubungan dengan pejabat atau pegawai/karyawannya. Semuanya memiliki regulasi hukum masing-masing sehubungan dengan tindak pidana sesuai kasusnya.

Mungkin publik sudah tidak asing mendengar UU Tindak Pidana Korupsi, yaitu UU No. 31 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun berbeda jika mendengar UU No. 10 Tahun 1998 Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Jo UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana, Jo UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Semua agaknya masih asing di telinga publik. Tetapi bagi orang hukum, terutama para praktisi hukum dibidang profesi advokat, sudah menjadi hal biasa karena sering menemukan kasus pidana seperti itu.

Penulisan opini hukum ini lebih menekankan pada UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Pasal 5 ayat (1) sebagai delik formiil. Pengertian delik formil adalah tindak pidana yang sifat deliknya selesai (tepenuhi) hanya merumuskan pada perbuatan yang dilarang dan diancam oleh Undang-Undang Pidana atau Hukum Pidana, tanpa melihat pada akibat hukum yang ditimbulkan.

Ada sebuah pembelajaran hukum bagi kita bahwa berlakunya ketentuan pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU sangat mudah memberi jeratan hukum bagi pelaku untuk dikenakan tindak pidana pencucian uang.

Mengapa demikian? Karena pada rumusan pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU terdapat tafsiran hukum pada kata “patut diduga” sebagai unsur pidana bersifat alternatif. Dan secara hukum unsur tersebut sebagai delik formiil.

Maksud tafsiran hukumnya bahwa jika terpenuhi unsur pidana sesuai rumusan pasal 5 ayat (1) UU TPPU, antara lain; setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tidak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) TPPU. Maka pelakunya dapat dipidana sebagai kejahatan pencucian uang.

Rumusan pasal 2 ayat (1) TPPU terdapat 26 jenis kejahatan yang dapat dikenakan tindak pidana kepada pelaku kejahatannya. 26 jenis kejahatan tersebut dalam hukum pidana dikenal dengan istilah “PREDICATE CRIME” atau kejahatan asalnya.

Pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU mewajibkan kepada pelakunya untuk membuktikan perbuatan tidak bersalah (tidak ada schuld/kesalahan). Dan sama sekali tidak memberi kewajiban hukum kepada aparat penegak hukum yang membuktikan kesalahan pada pelaku.

Hal ini berbeda dengan cara pembuktian pidana menurut KUHAP dalam tindak pidana umum. Dimana kewajiban pembuktian tidak ada pada tersangka/terdakwa sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 KUHAP.

Disinilah titik lemahnya ketentuan hukum pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dari rasa keadilan membela diri. Sebab rumusan deliknya bersifat formiil, yakni hanya melihat pada perbuatan yang dilarang. Dan salah satu unsur delik formiilnya adalah pada kata “patut diduga” harta kekayaan diperoleh dari hasil kejahatan (tindak pidana).

Mencermati dan menelaah secara saksama kasus hukum Bank BNI pada kantor cabang (KC) dan Kantor Cabang Pembantu di Maluku. Maka kejahatan pencucian uang yang dirumuskan dalam pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dapat dikenakan kepada siapa saja.

Dalam arti setiap orang yang menerima transferan dana dari hasil kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 2 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Dan predicate crimenya adalah kejahatan korupsi atau di bidang perbankan pada bank BNI kantor cabang dan cabang pembantu di Maluku.

Delik formiil berlaku bagi pelaku kejahatan TPPU yang menerima transferan uang hasil kejahatan melalui aliran rekening pada Bank BNI kantor cabang atau cabang pembantu di Maluku. Dimana jika pelaku penerima transferan tidak dapat membuktikan sebaliknya mengenai tidak ada kesalahan (schuld) pada dirinya dalam kategori unsur pidana, maka patut diduga uang yang diterima/masuk ke rekeningnya diperoleh dari hasil kejahatan.

Dalam persidangan pada kasus bank BNI di Pengadilan Negeri Ambon terungkap fakta bahwa ada pemilik rekening penerima transferan uang dari hasil kejahatan transaksi di bank BNI yang rekeningnya berkali-kali dipakai untuk menerima transferan uang bermilyar-milyar. Sehingga sulit bagi pelakunya untuk keluar dari jeratan Pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang sifatnya dilematis karena merupakan delik formil.

Kita sebagai masyarakat hukum tinggal menunggu saja putusan hakim yang menangani perkara tersebut, khususnya pada kejahatan predicate crimenya disatu sisi.

Disisi lain, apakah putusan akan mengerucut pada pertimbangan Pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU sebagai delik formiil, yang berpotensi menyeret semua pelaku lainnya yang menerima aliran transaksi uang/dana perolehan dari hasil kejahatan melalui rekening bank mereka?

Jika hal itu terjadi, maka secara normatif hakim telah menjalankan tafsiran pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU sebagai delik formiil dengan sejatinya. Dan disisi lain, penjara berpotensi terbuka lebar untuk pendatang baru, bagi setiap orang penerima transfer selaku pelaku kejahatan pencucian uang pada kasus Bank BNI di Maluku (***)