Pembelajaran Daring di Masa Pandemi
Oleh : Ilham Djufri, ST.M.Kom (Dosen Teknik Komputer Pada Akademi Ilmu Komputer (AIKOM) Ternate)
“Setiap Rumah Jadi Sekolah dan Setiap Orang Jadi Guru,” = Ki Hajar Dewantara
SESUAI dengan Surat Edaran Kemdikbud No 4 Tahun 2020 mengenai Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Covid-19. Namun demikian, secara empirik realisasi kebijakan tersebut sangat bergantung pada berbagai faktor.
Pemerintah pusat mesti menjamin dengan menyediakan koneksi internet yang lancar dan stabil, subsidi kuota, bantuan perangkat digital, dan peningkatan kapasitas digital juga meminimalisir ketimpangan akses di berbagai wilayah. Harus ada alokasi anggaran secara khusus utuk mendukung lancarnya kegiatan pembelajaran daring tersebut.
Sedangkan Pemerintah daerah berperan untuk memetakan sekolah-sekolah yang membutuhkan bantuan dalam penyelenggarakan pembelajaran daring. Khusus untuk sekolah-sekolah yang memiliki keterbatasan akses, pemerintah harus memiliki solusi konkrit, tanpa itu semua anak-anak dari keluarga miskin akan semakin termarjinalkan karena tidak mendapatkan haknya di bidang pendidikan.
Dengan Surat Edaran tersebut memaksa lembaga pendidikan di Indonesia untuk merubah paradigm pendidikan dengan segera melakukan pembelajaran daring (online) merupakan model pembelajaran di era digitalisasi. Secara serentak di hampir seluruh kota Indonesia. Namun pasti kualitasnya tidak akan sama.
Secara garis besar setidaknya terdapat 4 kelompok pendidik yang saat ini sedang memanfaatkan teknologi dan pedagogi sebagai sarana untuk pembelajaran daring, yang masing- masing akan menyajikan kualitas pengalaman belajar yang berbeda-beda.
Kelompok I: Pendidik di kelompok ini melakukan pembelajaran daring sebatas mengirim bahan ajar melalui media sosial yang populer seperti WhatsApp (WA) atau melalui email. Ini biasanya dilakukan oleh pendidik yang masih gagap terhadap teknologi dan terbatas dalam pemahaman pedagoginya.
Kelompok II: Pendidik di kelompok yang kedua ini melakukan pembelajaran melalui platform seperti Moodle, Edmodo, Google Classroom, Schoology atau platform lain yang sejenis. Pendidik di level 2 paham tentang LMS (Learning Management System) dan dapat memanfaatkan fitur-fitur yang ada misalnya untuk melakukan kuis.
Kelompok III: Pendidik di kelompok yang ketiga ini sanggup mengelola pembelajaran melalui platform LMS (Learning Management System) seperti di atas dan juga mengakurasi bahan ajar yang terdapat di internet seperti di Ruangguru, Zenius dll. serta secara sengaja menciptakan interaksi langsung yang terjadwal dengan peserta didik secara sinkron.
Di kelompok ini pendidik dengan peserta didik berkomunikasi dan berinteraksi langsung dengan mendengar suara, atau suara dan gambar walaupun itu dilakukan melalui teknologi.
Kelompok IV: Pendidik di kelompok keempat ini melakukan pembelajaran daring seperti kelompok tiga namun mereka menambahkannya dengan instruksi belajar yang lebih bervariasi termasuk menjadikan dirinya sendiri sebagai sumber belajar dengan cara membagikan rekaman suara atau video yang diproduksi sendiri untuk keperluan pembelajaran daring.
Pendidik dapat menghasilkan instruksi-instruksi yang memandu peserta didik untuk bisa melakukan collaborative learning dan experiential learning secara mandiri di tempat masing-masing.
Peserta didik yang memiliki pendidik dari kelompok 4 ini adalah peserta didik yang beruntung karena ditengah pandemik yang memaksa mereka di rumah saja, mereka tetap dapat menikmati pengalaman belajar yang bermutu dan juga asyik. Pendidik di kelompok 4 ini berhasil mewujudkan pesan Ki Hajar Dewantara yaitu menjadikan setiap rumah jadi sekolah dan setiap orang jadi guru.
Data BPS (2019) perlu menjadi pertimbangan dalam kondisi penggunaan internet di kalangan pelajar. Merujuk pada data tersebut, penggunaan telepon seluler oleh siswa perkotaan lebih tinggi dibandingkan siswa di perdesaan yaitu 76,60 persen berbanding 64,69 persen.