BERITABETA.COM – Sosoknya seperti tertutup awan gelap sejarah perjuangan bangsa ini. Padahal, putra asal Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku ini memiliki peran yang cukup besar.

“Jangan lupa lambang negara ini adalah lambang negara yang juga melambangkan kelahiran Republik Indonesia. Negara Proklamasi 17 Agustus 45,“

Ia menjadi satu-satunya tokoh dari Timur Indonesia yang ikut mengambil bagian dalam merancang lambang Negara “Garuda Pancasila”

Dalam beberapa referensi sejarah, namanya jelas ditulis Melkias Agustinus Pellaupessy atau MA. Pellaupessy. Beberapa sumber seperti Pramoedya Ananta Toer menulis sebagai Pelupessy, sedangkan Herbeth Feith, Richard Chauvel tetap menulis Pellaupessy.

Sebuah marga yang tak bisa lekang oleh waktu, karena marga ini menjadi identitas masyarakat adat di Maluku.

Siapa sebenarnya sosok ini?

Beritabeta.com mencoba menelusuri beberapa sumber terpercaya. Hasilnya menyebutkan M.A. Pellaupessy, adalah tokoh nasional yang lahir di sebuah negeri (desa) di Pulau Saparua bernama Ihamahu tanggal  25 Mei 1906 (sekarang Kecamatan Saparua Timur).

M.A. Pellaupessy menikah dengan Susanna Elisabeth Judith (Deetje) Metekohy di Bandoeng 17 Desember 1936.  Istrinya susanna Elisabeth Judith (Deetje) Metekohy lahir di Batavia 6 Oktober 1941.

Keberadaan dan peran sosok MA. Pellaupessy kepada negara tak banyak diketahui oleh masyarakat luas. Seperti halnya menyelami sejarah lambang Negara “Garuda Pancasila” itu sendiri.

Tak heran seorang kurator Museum Asia Afrika dan juga mentor Geostrategy Study Club (GSC) Desmond S. Andrian pernah menyebutkan:

“Cara yang paling cepat untuk mengetahui mengapa kita harus menjadi bangsa Indonesia, dan mengapa harus mempertahankan bangsa ini adalah dengan mempelajari Elang, Rajawali dan Garuda Pancasila,”

Ia melihat betapa pentingnya belajar sejarah lambang negara Republik Indonesia, Garuda Pancasila. Meski demikian, ia merasa banyak orang tak mengetahuinya.

Sekian puluh tahun lambang negara menjadi sesuatu yang misteri dan tidak pernah terungkap. Ada yang berpendapat, lambang negara Indonesia dirancang oleh Mohammad Yamin.

Desmond yang ikut meneliti sejarah lambang negara ini menjelaskan, selama meneliti sejarah lambang negara, ia melewati jalan yang berliku. Mulai dari mendapatkan informasi dari Iman Pasha, Kepala Museum Kapuas Raya Siti Musrikah, Turiman Fachturrahman Nur.

Kemudian, ia juga bertemu Dosen Tata Negara Universitas Tanjungpura, Kalimantan Barat, dan bertemu dengan anak pemilik toko buku Gunung Agung yang menyimpan desain perancangan lambang negara dari awal.

Hingga akhirnya bertemu dengan Max Yusuf Alkadrie, sekretaris pribadi Sultan Hamid II. Pertemuan dengan Max yang juga cucu dari perancang Garuda Pancasila tersebut menjadi pintu masuk bagi Desmond dan kawan-kawan mendapatkan banyak fakta di balik sejarah perancangan Garuda Pancasila.

Cerita Desmond soal sejarah lambang negara “Garuda Pancasila” ini pernah disampaikan pada presentasi Ilmiah “Sejarah Perancangan Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila” yang diselenggarakan GSC di Kaka Café pada bulan Febuari 2019. Presentasi ini bertepatan dengan diresmikannya Garuda Pancasila sebagai lambang Negara 69 tahun lalu.

Kembali ke MA. Pellaupessy. Seperti dikutip dari Wikipedia.org, Melkias Agustinus Pellaupessy atau MA. Pellaupessy merupakan seorang tokoh pergerakan dari Indonesia Timur.

Ia dikenal sebagai salah satu perancang lambang negara ‘Garuda Pancasila’ bersama dengan Muhammad Yamin . Selain itu terdapat pula tokoh terkenal lainnya seperti Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Natsir, dan Poerbatjaraka.

Gagasan Awal Lambang Negara

Ceritanya berawal dari pertanyaan Dr Radjiman Wedyodiningrat dalam pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ada tiga pertanyaan yang ia sampaikan ketika itu. Salah satunya adalah bila Indonesia merdeka, lambang negara Indonesia apa?

Pertanyaan ini dijawab seorang jurnalis dari Sumatera Utara, namanya Parada Harahap. Parada ketika itu mengusulkan agar lambang negara disusun dengan sebuah Undang-undang (UU) Istimewa Lambang Negara.

Kemudian setelah Indonesia merdeka diwujudkan dengan perancangan lambang negara. Dan disinilah titik berangkat historiografi penulisan lambang negara.

Ada dua orang yang terlibat riset perancangan lambang negara. Mereka adalah Mohammad Yamin dan Ki Hajar Dewantara. Keduanya melakukan riset dan menemukan simbol dalam peradaban nusantara yang dilambangkan dengan wujud garuda.

Selain itu Kementerian Penerangan yang ketika itu dipimpin Priyono juga melakukan sayembara lambang negara pada tahun 1947.  Sayang hasilnya tidak memenuhi persyaratan. Menurut panitia sayembara, para peserta sayembara tidak memahami hukum lambang tata negara.

Agresi Militer Belanda I

Pekerjaan panitia yang sedang mewujudkan amanah UU istimewa menjadi terhambat. Agresi militer menghentikan semua pekerjaan penyusunan lambang negara.

Pada saat itu, M. Yamin masuk dalam kelompok Persatuan Perjuangan, menolak hasil Perjanjian Linggar Jati. Menurut Yamin, perjanjian tersebut lebih banyak merugikan Indonesia secara de fakto, karena berdasarkan perundingan tersebut Indonesia bakal kehilangan tiga per empat wilayahnya.

Kelompok ini dalam semangat Gerpolek (Gerilya, Politik, Ekonomi) membawa semangat non kooporatif, terhadap perjuangan diplomasi. Kemudian M. Yamin pada saat itu mendapat sanksi hukuman penjara, kemudian keluar kembali dari penjara.

Indonesia antara tahun 1946, 1947, 1948, 1949 berjibaku untuk mempertahankan NKRI mendapatkan pengakuan secara de jure dan de facto. Hingga kemudian tercapai kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar Desember 1949.

Perundingan ini dikhwatirkan akan menyudutkan pemerintah Indoenesia, sehingga ada dua strategi diplomasi perjuangan yang ditempuh pemerintah Indonesia. Indonesia membuat dua kaki yaitu Republik Indonesia (RI) dan Republik Indonesia Serikat (RIS).

Gambar : Penyempurnaan rancangan I, 26 Januri – 28 Febuari 1950 (sumber: kabarkampus.com)

Pada tahun 1950, Soekarno membentuk sebuah tim yang disebut Panitia Lambang (Negara) untuk merancang Lambang Negara Indonesia.

Panitia ini diketuai oleh Sultan Hamid II. Oleh Soekarno Sultan Hamid II saat itu juga ditunjuk menjadi Menteri Negara, Zonder Porto Folio atau menteri koordinator yang tidak memiliki departemen.

Tapi ia memiliki tanggung jawab yang berat, yaitu mewujudkan Gedung DPR dan mewujudkan Lambang Negara. Panitia itu terdiri dari beberapa anggota masing-masing Ki Hajar Dewantara, M. Yamin, Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka (budayawan dan profesor), M. Natsir, dan juga M.A. Pellaupessy.

Tim ini kemudian merancang Lambang Negara yaitu Burung Garuda. M. Yamin diangkat sebagai sekretaris, karena dianggap mengetahui riset paling banyak mengenai lambang Negara pada tahun 1946. Anggota selanjutnya adalah Ki Hajar Dewantara, anggota Riset Panitia Indonesia Raya tahun 1946.

Kemudian MA Pelaupesy, seorang hakim dari Ambon dan Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka yang sangat dikenal menguasai manuskrip Jawa dan salah seorang Indonesia yang mendapat gelar profesor dari Pemerintah Belanda, karena menguasai manuskrip Jawa kuno serta Muhammad Natsir, tokoh Partai Masyumi.

Tahap Penyempuranaan

Figur elang (Burung Garuda) mendapat banyak masukan. Diantaranya dari M. Yamin yang mengusulkan ekor elang dengan jumlah tujuh helai. Jumlah ini mengingatkan kesempurnaan Sapta Praja yaitu konsep kesempurnaan pemerintahan dalam filosifi nusantara.

Namun MA Pelaupesy mengatakan, jangan lupa lambang negara ini adalah lambang negara yang juga melambangkan kelahiran Republik Indonesia. Negara Proklamasi 17 Agustus 45.

Maka kemudian dari tujuh berubah menjadi delapan. Sementara itu Soekarno meminta agar kepalanya tidak gundul sebagai pembeda dengan lambang negara salah satu negara terbesar di dunia.

Lambang Burung Garuda itu kemudian disempurnakan oleh Dirk Ruhl seorang ahli simbol dan semiotika.  Dirk Ruhl  ini yang menyusun buku Vlaggen van den Oost-Indischen Archipel (1600-1942), terbit di Bandoeng 1948 berisikan bendera-bendera negeri di masa VOC-Hindia Belanda.

M.A. Pellaupessy pernah menjadi Presiden Rotary Club Jakarta pada tahun 1970 – 1972.

Richard Chauvel pernah mewancarai dirinya sebagai sumber untuk menulis buku: Nationalist, Soldier and Separatist, 1990. Ia seangkatan dengan G.S.S.J. Ratulangi, dan Johanes Leimena. Ia tercatat pernah menjadi Menteri pada era tahun (1950 – 1952).

Pada tahun tanggal 6 September 1950 – 27 April 1951, M.A. Pellaupessy juga dipercaya  menjabat sebagai Menteri Penerangan-Kabinet Natsir.

Kemudian menjabat sebagai Menteri Urusan Umum-Kabinet Sukiman pada 27 April 1951 – 3 April 1952 mewakili Fraksi Demokratik.

Di saat itu, terdapat juga  Johanes Leimena sebagai Menteri Kesehatan. Ia juga menjadi Pejabat Menteri Kehakiman, saat M. Yamin mengundurkan diri 14 Juni 1951.

M.A. Pellaupessy juga merangkap jabatan hingga 20 November 1951, dan menyerahkan jabatan Menteri Kehakiman kepada Muhammad Nasrun dari Non Party (dhino pattisahusiwa).

Disadur dari berbagai sumber