Kisah Maharani Pelupessy Lolos dari Musibah Gempa Palu
BERITABETA – Bencana gempa dan tsunami yang melanda Kota Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, 28 September 2018, mencatat kisah haru. Salah satunya adalah warga Maluku, asal Saparua, Maharani Pelupessy.
Gadis kelahiran Masohi, 16 Agustus 1990 ini berangkat ke Palu tanggal 27 September 2018 untuk mengikuti kegiatan Festival Tahunan Palu Nomoni yang rencananya dibuka pada tanggal 28, pukul 08.00 WITA di Teluk Palu.
Namun, kondisi tragis kemudian terjadi. Maharani dikabarkan menghilang beberapa jam saat gempa terjadi. Keluarganya di Ambon panik karena putus komunikasi dengannya.
Keesokan harinya, tanggal 29 September 2019, keberadaan Rani begitu dia disapa, berhasil diketahui. Dia terbang ke Makassar pukul 04.00 WITA menumpangi pesawat Hercules dan estafet pulang ke tempat kelahirannya di Masohi, Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Kisah sehari di Kota Palu, dirangkum beritabeta.com melalui wawancara dengan Maharani Pelupessy yang selamat dari maut. Berikut penuturannya.
*******
Jumat siang itu, rasa capek menyelimuti sekujur tubuh gadis berdarah Ambon ini. Setelah sholat Dhuhur, Rani, lalu berbaring (istirahat) di kamar 5121 Hotel The Sya, Jalan Sisingamangaraja No.18,Kota Palu,
“Karena sore nanti harus berangkat bersama tim ke pantai di Teluk Palu, maka saya memilih berbaring di kamar,”tutur Rani.
Rani yang menjadi salah satu anggota tim liputan untuk acara Festival Tahunan Palu Nomoni, harus menuju ke pantai Teluk Palu sesuai agenda pukul 17.00 WITA, untuk mengikuti acara pembukaan festival.
Tepat pukul 15.00 WITA, saat masih melepas lelah, goyangan gempa mulai terjadi. Gempa pertama menguncang kota Palu berkekuatan 5,9 skala richter. Kaca-kaca jendala hotel bergetar. Dari ketingian lantai 5 hotel, dia hanya bisa mematung dan terperangkap serta memilih berdiam diri di kamar.
“Saya hanya berpikir untuk tetap di kamar, karena cukup beresiko jika turun saat itu, saya membayangkan lift-nya mati. Makanya saya memilih tetap di kamar,”kenang Rani.
Keputusan Rani benar adanya. Setelah gempa pertama reda, dua jam kemudian, Rani memilih turun ke loby hotel pada pukul 17.00 WITA, langsung menuju ke pantai Teluk Palu tempat berlangsungnya kegiatan yang rencananya akan dibuka pada pukul 08.00 WITA.
Dia mewakili Maluku, karena tegabung dalam komunitas Generasi Pesona Indonesia (Genpi), sebuah komunitas yang disponsori Kementerian Pariwisata (Kemenpar) RI.
Berangkat menuju ke pantai Teluk Palu, sama sekali tak ada firasat buruk. Sampai di lokasi kegiatan, Rani kemudian menjalankan tugas, membuat laporan reportase pelaksanaan kegiatan.
“Saat itu saya hanya fokus dengan membuat laporan, karena tiap 2 menit, saya dan teman-teman harus mengirim laporan perkembangan kesiapan acara,” ungkapnya.
Rani larut dalam aktifitas tanpa sedikitpun terbayang akan datang gempa susulan yang memporak-porandakan kawasan tersebut.
“Sama sekali tidak ada firasat ke arah itu, saya malah asyik berselfie di lokasi dekat pantai,” ungkapnya.
Sambil bersenda gurau, Rani lalu berniat untuk naik kuda, mengikuti sejumlah temannya. Tapi, takdir berkata lain. Niat berkuda akhirnya pupus. Dari kejauhan sudah terdengar adzan Magrib, dua rekannya yang bertugas sebagai fotografer dan videografer sudah berada di panggung utama. Setelah selang beberapa menit goncangan gempa dahsyat susulan dengan kekuatan 7,4 skala richter terjadi.
“Goncangan kedua itu, Masya Allah, bukan lagi pelan, saya merasakan seperti lagi naik kuda. Banyak yang terhempas bermeter-meter, tanah bergerak seperti gelombang di laut,” tutur Rani mengenang.
Lari Sekuat Tenaga Hampir 30 KM
Sesaat kemidian, suasana mencekam. Kawasan pantai Teluk Palu menjadi tegang. Banyak orang lari berhamburan. Rani ikut lari keluar lokasi pantai dan melompati tembok setinggi 2 meter, dengan penghalang besi tajam. Berkali-kali dia jatuh dan berusaha meloncat tembok, dan akhirnya lolos dan terus berlari sepanjang jalan.
“Saya sudah tidak melihat apa-apa lagi, yang ada dipikiran saya bagaimana bisa kabur di tempat itu dan terus berlari dengan menghindar dari bangunan tinggi dan tiang listrik,” beber Rani.
Dia menuturkan, saat itu Kota Palu menjadi gelap seketika. Semua ruas jalan utama dipenuh manusia. Dia memilih tidak berhenti. Jatuh dan bangun lagi, dan terus berlari.
“Sampai di satu tempat, saya bertemu dengan seorang anggota polisi yang mengendarai sepeda motor. Saya minta dibonceng dan orangnya menolak dengan alasan lagi melakukan pengamanan. Tapi saya terus memaksa untuk dibonceng. Akhirnya, sang polisi menyerah dan memberi tumpangan,”cerita Rani.
Kurang lebih jaraknya ada 5 km, perjalanan menumpang diboncengi polisi itu. Sang polisi itu lalu menyarankan agar Rani menumpangi mobil pick-up. Dan saran itu pun diikuti. Tapi saat di atas pick up, kendaraan seakan tidak bergerak, karena lalulintas menjadi macet.
“Saya memilih turun dan kembali berlari. Dan dalam hati saya hanya bergumam, ya Allah selamatkan saya. Sambil mengingat pesan papa dalam kondisi apapun saya harus berzikir.
Saya memutuskan untuk terus berlari sejauh mungkin dan sasaran saya bisa sampai ke Bandara SIS Al-Jufrie di Palu, untuk segera keluar dari kota Palu,”kenang Rani.
Usaha Rani dengan berlari sejauh mungkin membuat fisiknya lemah. Pemandangan sepanjang jalan begitu mengerikan. Banyak orang terjatuh, pemandangan semakin kacau. Banyak gedung hancur dan tiang listrik tumbang.
Dan sampai di salah satu pertigaan jalan yang menghubungkan jalan bagian Barat dan Timur, tepatnya di sebuah SPBU, langkah Rahi mulai terhenti.
“Sudah tidak kuat, kaki saya luka-luka, karena jatuh berkali-kali. Dan jarak lari yang saya tempuh, itu saya ibaratkan seperti 3 kali jarak dari Jembatan Merah Putih (JMP) ke Lapangan Merdeka, Kota Ambon,” ungkap mencontohkan.
Sambil beristirahat sebentar, banyangan Rani hanya pada kedua orang tuanya yang ada di Kota Masohi. Sesaat kemudian, sebuah motor melintas di depannya. Pengendara yang membonceng seorang perempuan, dihentikan oleh Rani. Dia memaksa untuk menumpangi kendaraan roda dua tersebut. Dan si pembawa motor akhirnya membonceng dua penumpang sekaligus.
“Mereka dari arah pantai, saya paksa untuk ikut mereka. Tujuan utama saya adalah bandara,”tuturnya.
Dengan kondisi ban motor yang sudah kempes, sepeda motor yang ditumpangi tetap melaju. Tapi bapak yang membonceng kami, lalu meminta kami ikut beliau.
“Ngak usah ke bandara, mari ikut saya saja ke tempat saya. Insya Allah aman. Dan saya pun ikut beliau ke sebuah lokasi pengungsian.
Semalam di Tempat Pengungsian
Di tempat pengungsian itu, Rani bersama beberapa orang, mencoba membantu korban keluar dari reruntuhan. Berbekal pengalaman dan profesinya sebagai seorang tenaga medis, Rani yang saat itu didampingi beberapa orang, kemudian mencoba menolong korban yang terluka dan mengurus korban yang meninggal dunia.
“Saya ditemani dua tenaga medis lainnya. Satunya dokter dan satunya lagi apoteker. Tapi, ya Allah sampai pagi hari, guncangan gempa tidak pernah berhenti. Kami panik, banyak korban yang luka-luka, tapi tak bisa diobati. Mau infus korban aja sudah susah,” kenang dia.
Sampai pukul 02.00 WITA siang. Rani kemudian meminta bantu dari seseorang di lokasi pengungsian untuk mengantarnya ke Bandara SIS Al-Jufrie di Palu. Sampai di bandara, kondisinya juga terlihat serupa. Bandara juga hancur dan tidak bisa diakses.
“Alhamdulilah, saya akhirnya bisa naik peswat Hercules dengan rute penerbanganterakhir ke Makassar, tanggal 29 September,”ingatnya.
Pesawat Hercules yang ditumpagi digunakan untuk memuat logistik ke kota Palu, dan Rani bersama 200 penumpang lainnya berhasil mendarat di Lanud Makassar, pukul 07.00 WITA malam. Rani diperbolehkan menumpangi peswat Hercules, karena petugas mengutamakan warga luar yang ber KTP, daerah lain.
“Semalam saya menginap di Makassar. Dan saya mengucap syukur kepada Allah yang sudah menyelamatkan nyawa saya. Sanak keluarga saya kabarin, saya selamat sekarang berada di Makassar,” ceritanya.
Subuh hari pukul 04.00 WITA, tepat tanggal 30 September 2018, saya kemudian terbang ke Ambon dan lanjut perjalanan ke Kota Masohi dengan menumpangi kapal cepat pukul 11.00 WIT.
“Om, saya sekarang sudah di Kota Masohi. Banyak hal yang terlewati begitu saja, karena dalam kondisi panik dan ketakutan. Yang saya ingat hanya itu, waktu dan tempat di Kota Palu terasa berat dan mencekam untuk kembali diingat,” tulis Rani melalui pesan singkatnya via WhatsApp kepada redaksi beritabeta.com. (***)
dhino pattisahusiwa (pemred beritabeta.com)