Catatan : Eddy Prastyo (Editor in Chief Suara Surabaya Media)

“Kita hidup di zaman di mana algoritma lebih tahu apa yang kita rasakan daripada hati kita sendiri.”

Larry Ellison pernah dikenal sebagai jenius  yang membangun Oracle, raksasa database yang menopang setengah dunia bisnis modern.

Ia adalah insinyur yang memuja presisi, bukan pencerita yang mengejar pengaruh. Namun di usia senja, Ellison terlihat menapaki jalur yang lebih ambisius: dari penguasa data menjadi penguasa makna.

Setelah puluhan tahun membangun mesin yang menyimpan informasi, kini ia membeli panggung tempat dunia berpikir, juga "kepercayaan".

Langkahnya tidak main-main. Setelah mengakuisisi Paramount Global yang menaungi CBS, MTV, dan Paramount Pictures, Ellison kini memimpin konsorsium yang bersiap mengambil alih operasi TikTok di Amerika Serikat.

Ia menautkan dua dunia yang dulu terpisah: studio film yang membentuk imajinasi generasi lama dan algoritma video pendek yang mencetak persepsi generasi baru.

Di titik temu antara cloud server Oracle dan layar smartphone TikTok, Ellison membangun sesuatu yang jauh lebih besar dari kerajaan bisnis: "infrastruktur kesadaran massal".

Kita mungkin mengira ini sekadar diversifikasi portofolio. Tapi kenyataannya ini jauh lebih strategis. Ketika satu orang atau satu konsorsium mampu mengendalikan server tempat data disimpan, studio tempat cerita dibuat, dan algoritma tempat cerita itu disebar, maka yang dimilikinya bukan lagi perusahaan, melainkan alat kendali persepsi global. Ia tidak hanya memonopoli akses ke informasi, tetapi juga memutuskan apa yang dianggap penting, relevan, atau layak viral.

Inilah wajah baru oligarki abad 21. Para penguasa baru tidak lagi datang dari tambang atau kilang minyak, melainkan dari laboratorium algoritma dan ruang server.

Mereka tidak menaklukkan wilayah, melainkan membentuk makna. Dari Bezos yang memiliki Washington Post, Musk dengan Twitter (kini X), sampai Ellison dengan TikTok dan Paramount. Semua sedang berlomba mengendalikan medan pertempuran paling strategis abad ini: "pikiran manusia".

Dampaknya terasa bahkan sebelum akuisisi rampung. Dunia hiburan dan berita kini hidup di bawah gravitasi raksasa teknologi. Perusahaan media klasik, yang dulu berkompetisi dengan idealisme dan reputasi, kini tak ubahnya subsistem di bawah infrastruktur data.

Ketika algoritma menjadi redaktur, konten diukur bukan dari kebenaran, tapi dari daya tular. Politik pun menyesuaikan diri; keputusan diambil bukan berdasar nalar publik, tapi ritme trending topic. Demokrasi melambat, sementara persepsi bergerak secepat scroll di layar.

Namun sejarah selalu menyimpan ironi. Setiap konsentrasi kekuasaan melahirkan antitesisnya. Uni Eropa menggencarkan regulasi digital, India menutup TikTok, negara-negara Afrika dan Asia mulai bicara soal kedaulatan data. Bahkan di Amerika, sebagian senator memperingatkan bahaya oligarki media-AI. Tapi resistensi itu masih sporadis.

Dunia belum menemukan mekanisme yang benar-benar mampu menandingi kekuatan kapital yang menyaru sebagai konektivitas.

Indonesia berdiri di tengah pusaran ini. Bukan sebagai pemain utama, melainkan medan pengaruh.

Sebagian besar interaksi warganya terjadi di platform asing yang algoritmanya dirancang jauh di luar negeri. Ketika perang data antarblok terjadi, kita hanya menjadi koloni digital: penyumbang perhatian, bukan pemilik sistem. Namun di balik kerentanan itu, tersimpan peluang.

Justru di saat globalisasi informasi terasa menyesakkan, media lokal yang berakar pada kepercayaan dan kedekatan bisa menjadi penyeimbang moral ekosistem global.

Tantangannya adalah bagaimana membangun sistem informasi yang tidak tunduk pada logika viral, tapi pada nilai kemanusiaan? Bagaimana menulis berita yang tidak hanya benar, tapi juga menumbuhkan kesadaran?

Di saat algoritma bekerja seperti pasar saham, menghargai yang cepat, membuang yang reflektif. Media lokal perlu menjadi tempat manusia berhenti sejenak untuk berpikir.

Pada akhirnya, kisah Ellison bukan hanya tentang bisnis, tetapi tentang zaman. Kita sedang memasuki era ketika data menggantikan doktrin, dan logika digantikan oleh algoritma.

Di tengah arus itu, mungkin tugas media bukan lagi sekadar melaporkan dunia, tapi menjaga kewarasan manusia agar tidak sepenuhnya dimiliki oleh mesin yang ia ciptakan sendiri (*)