BERITABETA.COM – Cuaca di Kota Ambon cukup cerah. Ribuan kepala memadati pelabuhan kapal yang kini dikenal dengan nama Yos Sudarso. Ibarat sebuah bangunan besar yang kian menepi, ratusan pasang mata terus menatap ke arah kapal yang masuk ke Teluk Ambon hingga terlihat di bagian lambungnya tertulis ‘Belle Abeto’.

Tak lama kemudian, bergegaslah ratusan tamu Allah menuju kapal, sanak family berlinang air mata, sambil melambaikan tangan tanda berpisah,  ketika peti-peti kayu (kopor) Jemaah Haji mulai dinaikkan melawati tangga kapal bernama ‘Belle Abeto’ itu.

Inilah sepenggal kisah yang dituturkan Hasan (60), seorang pensiunan PNS di Ambon mengenang perjalanan orang tuanya ketika menunaikkan ibadah Haji dengan kapal laut di tahun 1969.     

Sulit untuk dilupakan generasi 60-an tentang kisah perjalanan haji yang dilakukan Umat Islam Indonesia di zaman itu. Bagi mereka  yang lahir di tahun 40-an, 50-an dan 60-an pastinya memory kolektif tentang penyelenggaran haji di Tanah Air masih tetap melekat, termasuk di Maluku.

Walaupun tidak ditemukan data pasti tentang jumlah Jemaah Haji asal Maluku yang menggunakan kapal laut di zaman itu, namun penuturan sejumlah orang, kisah perjalanan Jamaah Haji asal Maluku, tidak lepas dari peran komoditas pala dan cengkih yang menjadi primadona ekonomi masyarakat Muslim Maluku di zaman itu.

“Rata-rata para orang tua yang berangkat ke tanah suci pada zaman itu murni dari hasil produksi cengkih dan pala. Mereka menabung dari musim ke musim hingga bisa ke tanah suci menunaikan ibadah haji,” tutur Hasan.

Kisah perajalanan haji yang masih menggunakan moda transportasi laut itu, pastinya akan terungkap cerita armada-armada kapal  yang cukup berjasa kala itu. Belle Abeto, Mi Abeto, Gunung Jati, Tjuk Nyak Dien dan Pasifik Abeto adalah nama-nama kapal yang kerap disebut.

Redaksi beritabeta.com menghimpun beberapa cerita legenda tentang perjalanan ibadah Haji di zaman itu. Sederet nama kapal itu masih saja menjadi cerita –cerita menarik. Meski tidak semua kapal itu berlabu di Pelabuhan Yos Sudarso Ambon untuk mengangkut jamaah haji asal Maluku, namun ternyata beberapa armada kapal itu memiliki jasa yang cukup besar dan menjadi ikon Umat Islam di Indonesia zaman itu.


Ratusan Jemaah Haji Indonesia saat naik ke kapal

“Tahun 1969 saat orang tua kami berangkat ke tanah suci dengan kapal laut, ada kapal yang berlabu di Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon. Saya masih ingat kapal besar itu bernama Belle Abeto,” tutur Hasan kepada beritabeta.com, Minggu (14/7/2019).

KM. Belle Abeto dan Mi Abeto merupakan dua armada kapal yang memang di zaman itu bertugas untuk mengantarkan jamaah haji asal Maluku. Dari sejumlah sumber yang dihimpun, ternyata kapal-kapal di atas dikelola salah satu perusahaan pelayaran milik pemerintah  Indonesia yang diberinama PT. Arafat.   

Dari kiprah perusahaan  bernama PT. Arafat, maka dikenallah sebuatan ‘Haji Laut’ bagi mereka yang menempuh perjalanan ibadah haji menggunakan kapal laut di zaman itu.

PT Arafat Aset Umat Terbesar

Legenda PT. Arafat dimulai pada sebuah bangunan tiga lantai di Jalan Johar No 8 Jakarta. Di bangunan ini, sebuah cita-cita mulia  pernah disandarkan. PT Arafat, perusahaan pelayaran pengangkut jemaah haji Indonesia, berdiri pada 1964, dengan saham dimiliki jemaah haji dan juga karyawan perusahaan.

Melalui Keputusan Presiden Nomor 122 Tahun 1964 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji,  antara lain mendorong pendirian perusahaan pelayaran yang khusus melayani perjalanan haji, maka lahirlah PT Arafat yang dibentuk pemerintah untuk mengatasi kesulitan pengangkutan jemaah haji.

Saat itu, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang dijabat Moeljadi Djojomartono, tokoh Muhammadiyah kepercayaan Soekarno, lalu menginstruksikan pendirian PT Arafat.

Tepatnya, 1 Desember 1964 PT Arafat didirikan dengan modal tambahannya sebesar Rp50 ribu dari ongkos naik haji (ONH) resmi yang diwajibkan kepada setiap jemaah sebagai saham. Artinya, saham perusahaan dimiliki jemaah haji, bahkan juga seluruh jajaran perusahaan hingga karyawan perusahaan.

“Bentuk perusahaan ini memang unik, tidak ada duanya di dunia karena statusnya swasta, tapi campur tangan pemerintah cukup besar,” ujar Kolonel H. Achmad Parwis Nasution, mantan Direktur Utama PT Arafat seperti dikutip  Tempo 26 Agustus 1978.

Saifuddin Zuhri yang menjabat Menteri Agama saat itu, tidak setuju dengan kebijakan Moeljadi sehingga menolak ketika diminta duduk dalam kepengurusan. Namun PT Arafat tetap berjalan.

Modal awal yang terkumpul dari jemaah berjumlah Rp16 miliar. Kapal Belle Abeto dan Pasific Abeto tiba di Teluk Jakarta. PT Arafat siap menjalankan tugas pemerintah untuk memonopoli pengangkutan haji.

Ratusan Jemaah Haji asal Indonesia saat berada di atas kapal

Pada tahun 1967, PT Arafat tumbuh hingga memiliki tiga buah armada kapal untuk mengangkut jemaah haji Indonesia. Saat itu, PT Arafat dipimpin oleh Brigjend R. Rusli (anak pujangga Marah Rusli).

Tiga armada kapal ini dibeli melalui modal uang/saham umat Islam di Indonesia yang dikumpulkan melalui PT Arafat. Datanglah KM. Pacific Abeto, Belle Abeto dan Tjut Njak Dhien. Kapal Tjut Njak Dhien sudah lunas pembeliannya, karena itu mendapat nama baru yang lebih bernuansa Indonesia (diambil dari nama pahlawan wanita asal Aceh: Cut Nyak Dien). Sedangkan dua yang pertama masih menggunakan sistem sewa.

Tiga armada kapal ini adalah kapal bekas yang dibeli PT Arafat. KM. Pacific Abeto misalnya,  merupakan nama baru dari st Flamenco. Kapal ini diproduksi pada tahun 1950 dan diregistrasi di pelabuhan Panama. Panjangnya 512 kaki dan lebarnya 66 kaki. Kapasitas bunkernya bisa memuat 2.331 ton bahan bakar. Sebelum dikelola oleh PT Arafat, Kapal Pacific Abeto berada di Pacific Steam Navigation Company Ltd, Liverpool dan Cia De Nav Abeto, Panama.

Kapal-kapal tersebut dapat membawa penumpang dari Indonesia ke Timur Tengah kurang lebih satu bulan. Biaya haji tahun itu sebesar Rp 400.000 untuk kapal laut dan 1.400.000 untuk pesawat.

Sebenarnya, penggunaan pesawat terbang sudah dimulai tahun 1952. Tetapi karena biayanya lebih mahal dari kapal laut, yaitu Rp 16.691 untuk pesawat dan Rp 7.500 untuk kapal laut, jamaah haji lebih suka menggunakan kapal laut. Saat itu, yang naik pesawat hanya 293 orang, sedangkan yang naik kapal ada 14.031 orang.

Apesnya, meski tetap beroperasi, dampak devisa negara terbatas, membuat PT Arafat tak mendapat keleluasaan untuk mengelola modalnya. Ia hanya mendapat hak sewa-beli sementara modalnya ngendon di Bank Indonesia.

Tiba-tiba, pada 1965, pemerintah mengeluarkan kebijakan pemotongan nilai rupiah. Dampaknya langsung terasa. Nilai modal PT Arafat menyusut dan hanya bisa digunakan untuk tiga kali angsuran sewa-beli.

Meski banyak pihak khawatir PT Arafat merugi tapi nyatanya perusahaan ini tetap bertahan. Bahkan kepada media, Direktur Utama PT Arafat Brigjen Roeshan Roesli menyatakan perusahaan ini selalu untung.

Pada 1970, PT Arafat mendapat tantangan baru. Penggunaan kapal laut untuk pergi haji lambat-laun ditinggalkan lantaran hadirnya maskapai penerbangan yang melayani pengangkutan jemaah haji. Garuda Indonesia Airlines (GIA). Datangnya moda transportasi baru ini jelas mempengaruhi keberlangsungan perusahaan.

PT Arafat mulai kalah saing. Meskipun masih ada jemaah haji yang memilih sarana laut, tak dipungkiri lebih murah dan lebih cepatnya sarana udara membuat kebanyakan jemaah memilih pergi dengan pesawat terbang. Jumlah jemaah haji laut menjadi kian merosot.

Utang PT Arafat terus menumpuk. Kecelakaan beberapa kali menimpa kapal-kapal PT Arafat. Dalam situasi genting, ONH justru diturunkan yang membuat PT Arafat kesulitan beroperasi.

Ketika situasi semakin kritis, Roeshan Rusli mengundurkan diri dan digantikan Kolonel Parwis Nasution. Ali Sadikin, ketua Dewan Pengawas PT Arafat, pun mengundurkan diri.

Seperti pada tahun 1974, biaya haji udara Rp 560.000, sedangkan haji laut berdikari Rp 556.000. Jamaah haji melalui pesawat terbang ada 53.752 orang, sedangkan yang pakai kapal laut hanya 15.396 orang.

Nasib haji laut terhenti pada tahun 1979 ketika PT Arafat dinyatakan pailit lewat SK Menteri Perhubungan No SK-72/OT.001/Phb-79. Hal tersebut dipilih pemerintah karena PT Arafat tidak mampu mengurusi haji laut lagi.

Apalagi saat itu biaya haji laut lebih mahal daripada haji udara. Tahun 1978, biaya haji udara hanya Rp 766.000, sementara biaya kapal laut mencapai Rp 905.000.

Beban perjalanan haji melalui jalur laut juga diperparah dengan berbagai persiapan yang harus dilakukan calon jemaah haji. Seperti diceritakan setiap jamaah haji dibekali beras 25 kg, gula pasir (4 kg), teh, kopi bubuk, krupuk udang, minyak goreng, sabun dan sabun cuci masing-masing 2 batang. Meski begitu, biasanya mereka para jamaah merasa tidak cukup dengan bekal yang sudah disediakan itu.

Jumlah jemaah haji di tahun 1972 itu meningkat 59% dari jumlah tahun sebelumnya, yang memberangkatkan sebanyak 14.052 orang. Jumlah ini kemudian meningkat signifikan di tahun 1973 yakni 44.582 atau sekitar 100 persen (*)

Pewarta : dhino pattisahusiwa

Dari berbagai sumber