BERITABETA.COM, Halmahera – Sebanyak 5 warga di Desa Waci, Kecamatan Maba Selatan, Kabupaten Halmahera Timur (Haltim), Maluku Utara, menjadi korban atas penyerangan orang tak dikenal (OTK). Dari lima korban tersebut, tiga di antaranya meninggal dunia dan dua mengalami luka berat. Media lokal menyebut penyerangan ini dilakukan kelompok suku terasing Togutil.

Kapolres Halmahera Timur AKBP Driyano Andri Ibrahim saat dihubungi Kompas.com, Minggu (31/03/2019) membenarkan kejadian tersebut. “Ia benar, terjadi peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh OTK terhadap tiga orang warga Desa Waci, Kecamatan Maba Selatan,” kata Driyano.

Kejadiannya pada Jumat (29/03/2019), ketika lima warga yang menjadi korban tersebut pulang berburu di dalam hutan. Namun, saat itu mereka diserang OTK yang jumlahnya diperkirakan 12 orang dengan menggunakan anak panah, tombak, dan parang.

Kejadian itu diketahui dari salah satu korban yang selamat bernama inisial HM saat melaporkan kejadian itu ke aparat kepolisian setempat. “Korban 5 orang, 3 meninggal dunia dan 2 orang selamat tapi mengalami luka berat,” kata Driyano.

Atas pengakuan korban, masyarakat beserta 19 anggota polisi dan 3 anggota TNI dari Satgas 731/Kabaresi serta tim medis menuju lokasi kejadian. Seluruh korban kemudian dievakuasi dengan menggunakan 5 perahu katinting. Adapun korban yang meninggal dunia langsung dibawa ke rumah duka masing-masing, sementara korban luka panah dibawa ke puskesmas setempat untuk dirawat.

Ketiga korban yang meninggal dunia yaitu HS (62), KA (56), serta HY (62). Sementara yang selamat yaitu HD (53) serta HM (36). Kasus ini kini ditangani Polres Kabupaten Halmahera Timur dan masih masih mendalami motif dibalik pembunuhan ini. Diduga motif penyerangan adalah  warga Togutil tidak senang hasil hutan yang mereka anggapnya wilayahnya  diambil warga dari luar.

Mengenal Suku Togutil

Togutil adalah sebutan sekelompok manusia yang mendiami hutan di kawasan Pulau Halmahera, Provinsi Maluku Utara. Mereka hidup di hutan belantara masih tergolong primitif. Setengah dari tubuh mereka baik kaum lelaki maupun perempuan hanya ditutupi daun.

Mereka belum mengenal budaya maupun agama. Untuk bertahan hidup saja, kebutuhan makanan mereka masih berharap banyak dari alam. Beberapa waktu lalu video mengenai suku Togutil  diperbincangkan di linimasa facebook.

Dalam video tersebut perlihatkan sekelompok manusia tanpa pakaian dan berambut gondrong mendekat ke permukiman warga. Mereka berdiri di bukit yang rindang sembari berteriak dengan suara keras, namun bahasanya tak dimengerti.

“Masih ada ternyata orang yang tinggal di hutan dan bahasanya mirip tarzan,” tulis akun Kamaruddin Hidayat.

Suara mereka terus bergema seakan meminta pertolongan kepada warga. Warga yang melihat aksi tersebut berinisiatif memberikan sebagian bahan pangan. Termasuk peralatan untuk memasak dan pakaian.

Suku teguliti di Hutan Halmahera

Meski demikian, ada di antara mereka sesekali keluar hutan menuju permukiman penduduk dan kamp-kamp perusahaan untuk mencari makanan.

Tampang yang brewok ditambah rambut gimbal nan panjang membuat warga berpandangan bahwa mereka orang jahat. “Padahal mereka sebenarnya baik. Sifat mereka itu, kalau melihat warga, lari. Begitu pun sebaliknya, kalau warga melihat suku Togutil, lari juga,” kata Rahman Saha, salah satu pembina Togutil, Kamis (8/2/2018).

“Kalau melihat warga di hutan, mereka akan ikuti dari belakang dengan harapan ada jejak sisa makanan. Ada juga yang mendatangi kamp-kamp perusahaan. Mereka di sana akan berkomunikasi baik-baik dengan menggunakan bahasa Tobelo untuk minta makanan maupun pakaian,” kata Rahman.

Begitulah cara hidup mereka selama berpuluh-puluh tahun di dalam hutan. Kehidupan di antara mereka mulai berubah total ketika para pencari kayu gaharu di kawasan hutan Halmahera Timur, sekitar Oktober 2016 mendapati satu di antara mereka (Togutil) dalam kondisi memprihatinkan.

Wanita itu dalam kondisi kelaparan, sangat lemah. Tidak berpakaian, setengah badannya hanya ditutupi daun. “Melihat kondisinya demikian, akhirnya ditawarkan untuk dibawa ke perkampungan dan ia pun menyetujuinya. Dia berkata, kalau dia merasa lebih baik akan kembali lagi ke hutan yang ditempuh dengan jarak tiga hari, untuk memanggil keluarganya lagi,” ujar Rahman.

Dari situ, kata Rahman, semua keluarganya yang terdiri dari dua kepala keluarga dengan jumlah 10 orang akhirnya ikut bersama pencari kayu gaharu tadi masuk ke permukiman warga hingga dibawa ke Kota Ternate.

Di dalam kota, mereka sempat berpindah-pindah. Mereka menjadi tontotan warga. Puluhan warga setiap harinya mendatangi mereka, melihat langsung tampang Togutil yang selama ini hanya didengar melalui cerita orang-orang. “Dari sini kita mulai ajarkan mulai dari kebersihan diri, menyapu, cuci piring, pakaian, mengenal huruf dan membaca,” kata Rahman.

“Butuh kesabaran ekstra untuk membina mereka, meski sempat suatu ketika semuanya melarikan diri dan kembali ke hutan karena merasa diperlakukan tidak baik, tapi akhirnya kembali lagi ke perkampungan,” kata Rahman.

Setelah mengenal dan dapat berbahasa Indonesia, mereka akhirnya tertarik untuk masuk agama Islam dan memakai hijab. Dari sini diajarkan tata cara berwudhu, baca tulis Al Quran hingga shalat.

“Sekarang mereka sudah hidup bermasyarakat di Galela (KabupatenHalmahera Utara), bahkan ada yang mengikuti lomba azan. Dan, setiap dua bulan sekali dikunjungi oleh Ustaz Nurhadi dari yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Ternate,” kata Rahman lagi.

Nurhadi mengaku, sudah ada sekitar 80 orang Togutil yang masuk Islam. Sebagian besar dari mereka saat ini kembali ke hutan, dan ada yang tinggal di pinggir hutan Kabupaten Halmahera Timur. Di sana mereka terbagi dalam beberapa titik lokasi dan hidup berkelompok.

“Meski kembali ke hutan tapi kami masih melakukan pengawasan dengan mengunjungi mereka setiap bulan dalam rangka pembinaan secara berkelanjutan. Mereka yang kembali ke hutan, paling tidak sudah mengetahui gerakan shalat dan setiap hari Jumat turun ke kampung untuk melaksanakan shalat Jumat di masjid,” kata Nurhadi.

Nurhadi mengakui di awal-awal memperkenalkan mereka budaya hidup bersih, baca tulis Al Quran, tata cara berwudhu dan sebagainya, mengalami banyak kendala, terutama bahasa.

“Awalnya itu mereka marah dengan pulpen karena tulisannya tidak seperti yang di papan, tapi lama-lama akhirnya mereka berdaptasi dan mau belajar hingga bisa,” kata Nurhadi lagi. (BB)

Sumber : Tribun-medan.com