Maluku : Ketimpangan dan Ketergantungan Penduduk
Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST (Statistisi Pertama BPS Kolaka, Sulawesi Tenggara)
PENDUDUK memiliki arti penting bagi sebuah wilayah administrasi. Bahkan, untuk membentuk sebuah desa, diperlukan penduduk sebagai prasyarat utamanya, itupun ada jumlah minimalnya. Sangat masuk akal, karena siapa yang mau diurus administrasinya oleh perangkat desa jika sebuah desa tidak memiliki penduduk? Siluman? Tentu saja tidak.
Berbicara soal siluman, jadi teringat kasus desa siluman yang menimpa salah satu kabupaten di Sulawesi. Konon kabarnya demi membentuk desa baru, oknum rela memalsukan jumlah penduduk. Tujuannya jelas, yakni mendapatkan dana desa yang besarannya sangat menggiurkan itu. Usut punya usut, penduduk yang didaftarkan di desa baru tersebut merupakan penduduk yang sudah tinggal di desa lainnya. Ya begitulah efeknya, jika proses registrasi penduduk masih belum sempurna.
Di Indonesia, persebaran jumlah penduduk bisa dibilang tidak merata. Jumlah penduduk di wilayah timur Indonesia sangat timpang jika dibandingkan wilayah barat Indonesia.
Maluku adalah salah satu wilayah di timur Indonesia. Berdasarkan hasil Proyeksi Penduduk Indonesia, jumlah penduduk yang tinggal di Maluku hanya sebanyak 0,67% dari total penduduk Indonesia. Jumlah tersebut setara dengan 1.802.870 jiwa.
Jika dilihat lebih dalam lagi, Maluku yang merupakan provinsi kepulauan, ternyata juga memiliki persebaran jumlah penduduk yang tidak merata. Pada tahun 2019, mayoritas penduduk provinsi Maluku ternyata tinggal di Kota Ambon, jumlahnya mencapai 26,55%.
Padahal, jika dilihat luas wilayah kota Ambon hanya mencapai 0,70% dari total luas provinsi Maluku. Hal ini membuat kota Ambon menjadi wilayah terpadat di Maluku dengan kepadatan penduduk mencapai 1.270 jiwa/km2.
Selanjutnya, Maluku Tengah menjadi wilayah yang memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua di Maluku pada tahun 2019. Jumlahnya hampir sama dengan kota Ambon yakni 20,71% dari total penduduk Maluku. Yang membedakan dengan kota Ambon adalah luas wilayahnya, dimana Maluku Tengah mencapai 21,40% dari total luas wilayah Maluku.
Hal tersebutlah yang menjadikan Maluku Tengah sebagai wilayah dengan kepadatan penduduk rendah, yakni hanya mencapai 32 jiwa/km2.
Dengan melihat fakta tersebut, pemerataan penduduk di Maluku tampaknya memang sulit untuk dicapai, karena struktur geografis Maluku berupa wilayah kepulauan.
Wilayah yang sepi tidak untuk ditinggalkan. Namun, wilayah yang sepi harus tetap berpenghuni, penduduk pun rasanya tidak masalah dengan hal itu, asalkan akses terhadap sandang, pangan, dan papan mudah untuk ditempuh. Kiranya kalimat yang bisa merangkai adalah pemerataan pembangunan akan menghasilkan pemerataan jumlah penduduk, begitu harapannya.
Selain dilihat dari jumlahnya, variabel kependudukan yang menarik untuk diulas di Maluku adalah angka beban ketergantungan atau istilah kerennya dependency ratio.
Angka ini juga yang menjadi penentu terjadinya bonus demografi di sebuah wilayah. Sebagian ahli pun menetapkan cut-off nya sebesar 50. Lalu, bagaimana kondisi dependency ratio di Maluku sejauh ini?
Pada periode 2010-2013, dependency ratio di Maluku selalu memiliki tren yang meningkat dimana pada tahun 2010 mencapai 65,28, dan tahun 2013 mencapai 69,33.
Kondisi ini mulai membaik pada periode 2013-2019, karena dependency ratio di Maluku berangsur turun, hingga negative slope pun tercipta. Kondisi terakhir, yakni tahun 2019 dependency ratio Maluku mencapai 58,65.
Angka yang masih jauh dari cut-off terjadinya bonus demografi. Padahal, Indonesia pada tahun 2030 diprediksi akan mengalami bonus demografi dengan dependency ratio yang diramalkan akan mencapai 44-46. Akankah Maluku menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang tidak mencapainya? Mari kita tunggu hasilnya.
Selain secara kuantitas penduduk usia produktif yang tinggi, ternyata bonus demografi akan memiliki dampak positif di sebuah wilayah jika kualitas penduduk usia produktifnya juga mumpuni.
Oleh karena itu, Maluku seharusnya juga mempersiapkan kualitas para penduduk usia mudanya yang sebagian dari mereka akan menjadi penduduk usia produktif pada tahun 2030 mendatang.
Pendidikan, teknologi, dan soft skill menjadi modal penting bagi para pemuda Maluku. Di pundak merekalah stigma bahwa “Indonesia Timur adalah wilayah tertinggal” itu harus dihapuskan (***)