BERITABETA.COM, Jakarta – Pemerintah resmi menaikkan cukai hasil tembakau atau cukai rokok sebesar 12,5% (rata-rata). Tarif baru ini berlaku mulai 1 Februari 2021. Kenaikan tarif cukai rokok ini akan membuat harga rokok naik dobel digit dibanding tahun ini dan akan turut berkontribusi terhadap inflasi.

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, kenaikan ini sudah mempertimbangkan segala aspek mulai dari kesehatan dan penerimaan negara.

“Kebijakan kenaikan cukai nggak berdiri sendiri, tapi bagian dari aspek pengendalian konsumsi atau kesehatan dan penerimaan negara dan juga road map jangka menengah panjang untuk petani dan buruh,” kata Yustinus seperti dikutip beritabeta.com dari CNB Indonesia, Minggu (13/12/2020).

Menurut Yustinus, melalui aspek kesehatan, pemerintah berupaya untuk menurunkan tingkat konsumsi atau prevalensi merokok terutama pada anak-anak usia 10-18 tahun. Di mana pada kategori itu prevalensi merokoknya naik menjadi 9,1% di tahun ini.

Dengan tingkat yang tinggi tersebut, pemerintah menaikkan cukai rokok agar tingkat konsumsi rokok anak-anak bisa turun menjadi 8,7% di 2024.

Jadi, ia menegaskan kenaikan cukai rokok ini tidak semerta-merta hanya untuk mengamankan penerimaan negara saja. Itu adalah pertimbangan akhir setelah yang utama adalah kesehatan dan juga petani tembakau dan buruh.

Di mana pada tahun depan, pemerintah mematok penerimaan negara dari cukai hasil tembakau sebesar Rp 173,78 triliun.

Selain itu, ia menegaskan kebijakan ini diambil setelah melakukan komunikasi dengan pihak terkait dalam waktu yang panjang.

“Jadi kebijakan ini sudah optimal hasil diskusi panjang dengan banyak pihak dan stakeholder,” ujarnya.

Seperti diketahui, sejak 2017, secara rata-rata pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 11%.  Kenaikan paling tinggi terjadi untuk tahun 2020.

Tarif cukai hasil tembakau ditingkatkan sebesar 23% tahun ini setelah tidak ada kenaikan di tahun 2019. Kenaikan cukai rokok di Indonesia disebut dapat menurunkan prevalensi merokok.

Menurut laporan Bank Dunia, dengan kenaikan cukai rokok yang konsisten di dalam negeri keterjangkauan harga rokok turun 10,2% sepanjang 2011-2017. Lebih lanjut Bank Dunia menyebut bahwa pada 2013-2016 jumlah perokok di Indonesia turun dari 36,3% menjadi 32,8%.

Agar efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok di kalangan masyarakat peningkatan tarif cukai harus mempertimbangkan beberapa hal seperti pertumbuhan ekonomi dan angka inflasi. Bahkan faktor kenaikan pendapatan masyarakat harus dipertimbangkan.

Apabila pemerintah ingin menurunkan jumlah perokok secara signifikan maka tarif cukai harus ditetapkan lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kenaikan upah atau pendapatan setiap tahunnya.

Peningkatan sebesar 23% untuk tahun 2020 apabila dibandingkan dengan inflasi sebesar 1,5% kemudian kenaikan upah sebesar 8%-10% dan pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi di zona minus maka tergolong tinggi.

Kombinasi resesi ekonomi dan peningkatan tarif cukai rokok telah terlihat jelas menurunkan penjualan rokok di tahun ini.

Sepanjang Januari-September 2020 volume penjualan rokok nasional turun 9,4% dibanding periode yang sama tahun lalu menjadi 201,7 miliar batang.

Implikasi dari peningkatan tarif cukai rokok sebesar 23% tahun ini adalah kenaikan harga jual sebesar 35%. Namun pada kenyataannya harga jual eceran per batang rokok sampai bulan November masih terdiskon 12% – 30% dari harga seharusnya terutama untuk jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM).

Namun jika dilihat sepanjang tahun 2020 ini sebenarnya harga rokok yang populer dan banyak di konsumsi masyarakat rata-rata sudah naik 9%. Namun kenaikannya tidak serempak untuk setiap merek rokok dari para produsen. Hal ini tentu berkaitan dengan strategi bisnis dari masing-masing produsen (**)

Sumber : .cnbcindonesia.com