BERITABETA.COM - Suara lelaki berkumis itu, memecah seisi ruang rapat. Raut wajahnya memancarkan kecemasan, seakan berharap keadilan selalu hadir untuk kepentingan rakyat di daerahnya.

Pria paruh baya ini tak lain adalah Hendrik Lewerissa. Dia baru saja menjabat sebagai Gubernur Maluku periode 2025-2030.

Kepemimpinannya sebagai Gubernur Maluku, membuatnya harus bekerja ekstra untuk membawa Maluku keluar dari keterpurukan ekonomi.

Banyak masalah yang menjadi tanggungjawabnya. Mulai dari masalah kemiskinan yang akut, hutang daerah yang melilit hingga potensi alam Maluku yang belum terkelola dengan maksimal.

Salah satu yang menjadi sorotan politisi Gerindra ini adalah potensi perikanan Maluku yang selama ini belum memberikan dampak positif bagi kemajuan Maluku.  

“Pak menteri dari potensi perikanan yang kami miliki, terus terang saja, kami tidak mendapatkan sesuatu yang signifikan, dikarenakan Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan relaksasi kebijakan penangkapan ikan terukur, yang memungkinkan terjadi alih muat hasil tangkapan ikan itu di lautan,”ungkap Hendrik Lewerissa di forum Rapat Kerja Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri dan Rapat Dengar Pendapat dengan para gubernur dari seluruh Indonesia, pada Selasa 29 Apri 2025.

Apa yang disampaikan sang Gubernur memang bukan barang baru. Potensi perikanan Maluku sudah kerap disuarakan para wakil rakyat asal Maluku di Senayan.

Berkali-kali Politisi PKS Maluku, Saadiah Uluputty juga menyampaikan hal yang sama. Anggota Komisi IV DPR RI itu bahkan secara lantang meminta pertanggungjawaban dari Presiden Jokowi (presiden sebelumnya) saat rapat bersama Menteri KKP.

Saadiah menagih janji presiden terkait Program Lumbung Ikan Nasional (LIN) yang dijanjikan pemerintah, namun hingga kini tak kunjung ditepati.

Keresahan yang sama juga diutarakan Gubeunur Maluku, Hendrik Leweissa. Gubernur Maluku ini mengatakan, sumber daya alam kelautan dan perikanan yang dimiliki oleh Maluku belum berkontribusi besar terhadap peningkatan pendapatan asli daerah.

Hendrik Lewerissa mengaku, pihaknya berupaya untuk terus menyuarakan kondisi terkini di Maluku yang butuh perhatian dari pemerintah pusat.

Maluku adalah provinsi kepulauan dengan luas lautan hingga 92,4% dan daratan hanya 7,6%. Dengan luas lautan yang besar tersebut, provinsi itu berhasil memasok kebutuhan 30% dari potensi perikanan nasional.

Lewerissa mengaku, pemerintah daerah tidak memiliki data akurat mengenai potensi sumber daya kelautan yang dimiliki dan dipanen untuk memenuhi kebutuhan di pasar dalam negeri maupun luar negeri.

“Kami tidak pernah tahu berapa ton ikan, berapa ton cumi-cumi, berapa ton udang dan sebagainya yang diambil dari laut kami,” katanya.

Ia pun memberberkan saat bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Magelang, Jawa Tengah, pemerintah provinsi menyadari bahwa dana bagi hasil yang diterima Maluku dari sektor perikanan sangat kecil.

“Saya sedih juga, karena memang negara memperoleh data yang tidak akurat dikarenakan proses alih muat di laut itu. Apabila semua proses dilakukan di pelabuhan penangkapan ikan, pasti tercatat secara bagus, sehingga kita bisa mendapat manfaat dari situ,” ujarnya.

Ihwal hasil laut Maluku ini, sebelumnya juga dipaparkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono saat menghadiri Forum Bisnis dan Investor yang digelar Pemprov Maluku di Makassar, Sulsel beberapa tahun lalu.

Wahyu menyebutkan bahwa potensi hasil laut dari Maluku yang berada di zona 3 mencapai 3,9 juta ton dengan nilai mencapai sebesar Rp117 triliun.

"Potensinya  sangat besar, jadi kalau dihitung dari ikan yang diperbolehkan untuk diambil itu kira-kira nilainya Rp117 triliun," ungkap Sakti.

Apesnya, sistem bagi hasil yang diperoleh Maluku sangat tidak relevan. Pemerintah mengatur sistem bagi hasil berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Pada Pasal 119 ayat 1 menjelaskan bahwa DBH sumber daya alam perikanan ditetapkan sebesar 80 persen dari penerimaan pungutan pengusahaan perikanan (PPP) dan penerimaan pungutan hasil perikanan (PHP).

Sedangkan pada ayat 2 berbunyi DBH sumber daya alam perikanan untuk daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagikan kepada kabupaten/kota di seluruh Indonesia dan daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom dengan mempertimbangkan luas wilayah laut.

Kalau dilihat dari sistem dana bagi hasil (DBH) perikanan bahwa 80 persen dibagi rata ke seluruh kab/kota di Indonesia, pastinya daerah penghasil atau daerah yang sumber daya perikanan yang menjadi tumpuan utama penopang pendapatan asli daerah akan dirugikan.

Seharusnya Maluku mendapat prirotas sebelum dibagi ke kabupaten/kota lainnya di Indonesia, pemerintah  harus memberikan persentase tersendiri bagi Maluku sebagai daerah penghasil (*)

Pewarta : dhino.p