“Ikan deng makan ikan, orang di Ambon punya biasa. Ikan deng makan ikan lah sinyo Ambon punya biasa, ikan deng makan ikan,  tagal galojo sampe cilaka lah sio sayang, rasa sayang badan eee,”

Asyiknya lirik lagu Ambon ini. Lirik lagu penuh muatan identitas budaya dan tradisi. “Tagal galojo sampe cilaka,” hanyalah idiom yang mengambarkan kesukaan orang Ambon, Maluku terhadap ikan. Kini idiom itu, berubah menjadi fakta dari sebuah peringatan. Jangan makan kepala ikan, bisa jadi cilaka!

Bagi orang Maluku, seruan ini terasa kocak dan berat. Bagaimana mungkin orang Maluku bisa mengikuti seruan tidak makan kepala ikan?

Padahal, kepala ikan yang dilarang untuk dikonsumsi itu, adalah bagian ikan yang paling favorit dikonsumsi orang Maluku. Orang Ambon, Buru, Seram, Saparua, Banda, Tenggara dan sejumlah daerah lain di Maluku, semua suka kepala ikan.

Saking sukanya orang Maluku pada kepala ikan, zaman dulu ada orang tua yang sering melarang anaknya untuk tidak mengkonsumsi kepala ikan. Larangan itu sengaja dilontarkan, agar sang anak tidak makan bagian ikan yang menjadi kesukaan orang tua.

“Kalau makan kepala ikan nanti jadi bodok,” itulah strategi sang orang tua agar anaknya tidak makan kepala ikan yang diincar.

Konsumsi ikan laut bagi orang Maluku, sudah menjadi budaya. Sejak zaman dulu hingga kini. Mungkin tak ada orang Maluku yang tidak suka makan ikan, apalagi kepala ikan. Ini fakta, dan tidak bisa dibantah.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (SUSENAS-BPS), yang diolah kembali oleh Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), tahun 2016 menjadi fakta ilmiah dari budaya makan ikan orang Maluku. Hasil survey itu menyebutkan daerah dengan  tingkat konsumsi ikan tertinggi di Indonesia adalah Maluku.

Di tahun 2016, tingkat konsumsi ikan di Maluku mencapai 55,13 kg/kapita/tahun. Jumlah ini dua kali lipat dari jumlah rata-rata yang dikonsumsi masyarakat di Pulau Jawa.

Sederhananya, setiap tahun, setiap satu kepala orang Maluku,  mengkonsumsi ikan sebanyak 55,13 kilo gram. Andaikan dari jumlah itu terdapat 3 kg saja kepala ikan, maka setiap tahun, satu kepala orang Maluku makan 3 kg kepala ikan.

Ternyata kebiasaan dan tradisi makan ikan bagi orang Maluku, kini mulai mendapat masalah serius. Ada warning untuk menghindari makan bagian kepala ikan dan tulang ikan.  Memang bukan semua orang Maluku, tapi ini peringatan bagi semua orang Maluku.

Warning itu datang dari seorang DR. Justinus Male.  Dia adalah Pakar Kimia dan Lingkungan Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon. Namanya pakar pastinya punya keahlian. Dan sudah tentu, Male tidak sedang bercanda. Male juga orang Maluku, sudah pasti sang doktor itu, juga suka mengkonsumsi ikan, terutama kepala ikan.

Latar belakang pengetahuan dan seabrek pengalaman ditambah fakta dari hasil penelitian yang dilakukan, menjadi pertaruhan nama baiknya. Apalagi, hasil penelitian ini bukan baru pertama terjadi di Indonesia.

Justinus Male telah melakukan penelitian sejak tahun 2015 silam. Dari interval waktu tiga tahun itu, kesimpulannya  ikan di perairan Pulau Buru dan Pulau Ambon sudah tercemar racun kimia bernama mercuri dan sianida. Sepanjang tiga tahun, Male meneliti sejumlah sampel ikan, baik yang diambil dari pasar di Namlea, Kabupaten Buru maupun di perairan laut Latuhalat, Pulau Ambon.

Dasar dilakukan penelitain ini adalah maraknya aktivitas penambangan emas ilegal di Gunung Botak, Gogorea, dan Anahoni Pulau Buru yang menggunakan berton-ton mercuri dan sianida.

Tentu kita masih ingat lagu “Bengawan Solo”. Ada syair yang berbunyi “Air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut,”. Demikianlah limbah-limbah beracun mercuri dan zianida,  juga mengalir sampai jauh dan akhirnya ke laut.

Limbah beracun dan berbahaya ini dibuang ke Sungai Anahoni dan Waeapu, selanjutnya mengalir sampai ke kawasan Teluk Kayeli yang banyak dikelilingi hutan mangrove.

Di daerah hutan mangrove, endapan lumpur mengandung B3 ini dimakan mikroba-mikroba kecil, plankton dan zooplankton.  Selanjutnya terjadilah proses rantai makanan yang berujung dimakan kepiting, ikan kecil dan ikan besar sampai akhirnya dikonsumsi manusia. Ngeri, saling makan akhirnya sampai ke perut kita.

“Ikan dari perairan laut di sekitar Teluk Kayeli ini tidak selamanya menetap di sana, namun bermigrasi dan menyebar ke mana-mana sehingga kondisi seperti inilah yang membahayakan kesehatan manusia,” inilah fakta ilmiah yang disampaikan Male.

Alhasil, masyarakat di Pulau Buru dan Ambon diserukan agar tidak mengkonsumsi kepala ikan dan tulang ikan. Di dua bagian organ ikan  itulah mengendap bahan racun yang bernama mercuri dan sianida. Maka lengkaplah sudah alasan ilmiahnya.

Kita tidak perlu membantah, karena membantah hasil ilmiah, harus pula dilakukan dengan tidakan serupa. Ilmiah wajib dijawab dengan  ilmiah. Tentunya, Male bukan sedang mengincar kepala ikan, seperti yang dilakukan orang tua kita di zaman dulu.

Apa yang disampaikan pakar kimia dan lingkungan Unpatti, bukan hal yang baru pernah terjadi di dunia dan Indonesia khususnya. Ada kasus serupa yang cukup terkenal dan menghebohkan dunia. Seperti   keracunan merkuri yang pernah terjadi di Teluk Minamata, Jepang (1953-1960) yang menimbulkan korban mencapai 2.265 orang (1.784 di antaranya telah meninggal).

Di Indonesia juga terjadi di Teluk Buyat,  yang juga menimbulkan korban lebih dari seratus orang menderita cacat dan beberapa meninggal.

Tahun 2011 silam, di Amerika pernah ada sebuah penelitian yang menyimpukan sebanyak 19 persen daerah pantai di Negara Bagian California, memiliki ikan dengan kandungan merkuri sangat tinggi. Alhasil, hewan laut itu tak boleh dimakan oleh anak-anak dan perempuan muda.

Isi penelitian yang disiarkan oleh The Los Angeles Times, menyebutkan, 14 persen dari lokasi itu memiliki kandungan Polychlorinated biphenyls (PCB) yang sama tingginya.

Konsentrasi Phosphate Buffered Saline (PBS)  dan merkuri paling tinggi. Survei yang didanai oleh lembaga perairan negara bagian, itu ditemukan di San Francisco Bay dan San Diego Bay.

Penelitian selama dua tahun tersebut merupakan survei terbesar di seluruh negara bagian USA untuk mengetahui zat pencemar pada ikan di sepanjang pantai California. Sebanyak 2.000 ikan dari tiga lusin spesies diteliti. Semua spesies itu dikumpulkan sejak 2009 dari perairan di dekat Los Angeles, San Francisco, dan San Diego.

Menariknya, sebagian hasil penelitian tersebut digunakan untuk membantu memetakan panduan baru mengenai konsumsi ikan, kepada para pecandu memancing di San Francisco Bay, yang pertama kali diperbarui di sana oleh para pejabat kesehatan negara bagian dalam 17 tahun.

Dari hasil identifikasi sejenis ikan air tawar, shiner perch, tidak aman untuk dimakan dalam jumlah apa pun dan memperingatkan anak-anak dan perempuan muda agar tidak mengkonsumsi white sturgeon, striped bass dan hiu yang ditangkap di teluk tersebut.

Kandungan logam dan bahan kimia pada ikan menjadi masalah di sepanjang pantai Southern California. Para pejabat kesehatan, selama  dua tahun lalu memperluas jumlah spesies ikan di daftar larangan untuk tidak dikonsumsi. Dari satu species menjadi lima, akibat tingginya kandungan PCB, merkuri dan pestisida.

Kini DR. Justinus Male, telah melakukan hal serupa. Sebuah hasil penelitian yang cukup mengagetkan public Maluku, “Jangan makan kepala ikan dan tulang ikan”.

Apa reaksi kita orang Maluku? Jika di Negeri Paman Sam, hasil penelitian serupa dijadikan dasar pijak untuk dikeluarkan sebuah kebijakan dan regulasi,  kita disini hanya bisa  kaget dan membantah penuh dalih, tanpa dasar. Padahal, Male adalah intelektual Maluku yang kehadiran dan tindakannya patut diapresiasi semua pihak, terutama pemerintah daerah. Semoga seruan sang pakar bisa terjawab dengan tindakan nyata. Jangan sampai “Tagal galojo sampe cilaka” (***)