Maluku Termarginalisasi Secara Sistimatis Dan Masif
Dari informasi tabel diatas dapat diketahui bahwa sampai dengan tahun 2019 kemajuan yang dicapai Maluku selama 75 tahun Indonesia merdeka adalah Indeks Kebahagiaan Maluku 73,77%, tertinggi urutan ke-dua dari Maluku Utara 75,68%. (warna hijau), selebihnya sebagian besar indikator sosial ekonomi Maluku adalah menunjukan keterbelakangan dan ketertinggalam secara terstruktur dan masif (warna merah).
Upaya Penyelamatan
Catatan sederhana yang disampaikan diatas sebenarnya hanya sedikit gambaran dari perkembangan dinamika yang ada, karena itu diharapkan semua pihak, baik pemerintah Provinsi, pemerintah Kabupaten/Kota dan semua stackholders pembangunan di Maluku untuk secara bersama memikirkan langkah langkah penyecagahan dan penyelesaian secara konkrit.
Tidak pernah jenuh-jenuh saya mengatakan bahwa Kebangkitan Maluku membutuhkan kesadaran kolektif semua elemen masyarakat Maluku di mananapun berada. Kesadaran akan keterbelakangan dan keterpurukan ini sebagai suatu masalah bersama yang harus dihadapi secara bersama dan proporsional sesuai kewenangan dan kompetensi kita masing-masing. Kesadaran ini kemudian akan melahirkan rasa senasib dan sepenanggungan sehingga nasionalisme kemalukuann akan terbentuk menuju persatuan dan persaudaraan rakyat Maluku secara utuh dan tulus tanpa diwarnai dengan berbagai kepentingan yang lain.
Persatuan rakyat Maluku, bukan dalam arti menghilangkan keragaman, tetapi persatuan yang utuh dan kuat yang terbangun dalam keragaman orang Maluku adalah suatu kondisi yang tidak sulit untuk diwujudakan karena kita semua memeiliki akar sejarah yang kuat dalam bingkai Patasiwa-Patalima. Dalam keragaman kita mampu untuk membina dan memupuk kebersamaan dalam membangun masa depan Maluku yang dicita-citakan.
Kebersamaan bukan berarti selalu harus bersama, Kebersamaan rakyat maluku harus dibangun dalam tatanan saling hormat menghormati atas semua perbedaan yang ada. Sejak awal kita semua sadar bahwa kita memang berbeda, tapi kita bisa berjalan bersama untuk menjahit kain yang robek (sobek) untuk menjadi Payung Maluku yang besar yang dapat melindungi dan memebrikan rasa aman dan nyaman bagi semua orang Maluku
Ale rasa – Beta rasa, Potong di Kuku rasa di Daging, Pela – Gandong, Salam-Sarani, Kabaresi, Lawamena Haulala, semua ini akan tidak punya makna persaudaraan Kemalukuan sejati, jika hanya di ucapkan, dikumandangkan sebagai simbol-simbol indentitas entitas orang maluku secara serimonial.
Rakyat Maluku harus cerdas menyikapi berbagai model issu dan kampanye para elit politik yang Tuna Visi, Tuna Konsep dalam membangun Maluku, yang semuanya bermuara dengan membonceng issu-issu dikotomi Agama, Kampung, Suku dan Pulau.
Akibat ketidakmampuan dalam melakukan pertarungan di panggung politik praktis, maka pola-pola dikotomi dan polarisasi ini dikemas sebagai produk basi, produk gagal, produk berisi racun sosial yang akan memusnahkan nilai-nilai persatuan dan persaudaraan mula-mula orang Maluku (***)