Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST (Statistisi Muda BPS Kolaka, Sulawesi Tenggara)

Utang dinilai sebagai langkah cepat untuk menutup kekurangan finansial. Tak hanya individu, utang juga kerap dilakukan oleh negara sebagai kumpulan individu. Bedanya, utang yang dilakukan individu cenderung untuk memenuhi hasrat gaya hidup mewah dan berlebihan.

Sedangkan utang yang negara lakukan lebih cenderung untuk memenuhi kebutuhan dasar ataupun keperluan investasi.

Persamaannya, utang yang dilakukan oleh individu maupun negara, hampir selalu terikat dengan bunga. Dan inilah yang menjadi sumber bencana. Utang terasa tidak pernah lunas karena harus membayar bunga pinjaman.

Ya, meskipun ditanggung oleh banyak orang, utang yang dilakukan oleh negara, utamanya negara berkembang sangat sulit untuk dilunasi.

Seperti Indonesia. Tercatat pada Agustus 2021 ini, utang Indonesia sudah mencapai Rp 6.625,43 triliun atau mencapai 40,85 persen terhadap PDB. Angka tersebut sudah melebihi kebiasaan Indonesia selama ini, yang memiliki rasio hutang di bawah 30 persen terhadap PDB.

Utang yang bertambah kali ini sangat beralasan. Yaitu untuk penanganan pandemi Covid-19 yang belum ketahuan ujungnya. Walaupun kabarnya jumlah kasus Covid-19 di Indonesia sudah mulai turun.

Ditandai dengan dilonggarkannya aktivitas masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan sebagai pengatur keuangan negara telah mencoba semaksimal mungkin dalam re-alokasi anggaran belanja negara. Namun, melihat

fasilitas kesehatan yang harus terus ditambah serta banyaknya jaring pengaman sosial yang

harus disiapkan, tidak cukup jika hanya mengandalkan anggaran yang ada. Akhirnya, utang pun diajukan pemerintah sebanyak Rp 1.439,8 triliun. Mayoritas utang berasal dari penerbitan

Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 1.289,3 triliun ditambah dari penarikan pinjaman sebesar Rp 150,5 triliun.

Utang mungkin hal yang wajar dilakukan ketika kondisi negara seperti ini. Namun, yang paling penting, apakah negara aman dari ancaman resesi ekonomi jika utang terus dilakukan? Jika dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi, sebenarnya Indonesia sudah mulai menjauh dari jurang resesi.

Dimana pada triwulan II 2021 pertumbuhan ekonomi sudah positif, yakni tumbuh 3,31 persen dari triwulan I 2021. Dari sisi produksi, Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 12,93 persen.

Sementara dari sisi pengeluaran, Komponen Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (PK-P) mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 29,07 persen. Selanjutnya dari sisi pendapatan masyarakat yang menurun. Pendapatan seseorang sangat bergantung dengan pekerjaan yang mereka geluti.

Seseorang yang bekerja sebagai buruh kasar pasti memiliki pendapatan yang lebih rendah dibandingkan pekerja kantoran. Namun, jika angka PHK yang mengancam buruh kasar terus menanjak selama pandemi Covid-19 ini, maka apa yang bisa mereka harapkan untuk memenuhi kebutuhan? Pada Agustus 2021

Badan Pusat Statistik memperkirakan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) akan mencapai 7,15% hingga 7,35%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan Agustus 2020 yang mencapai 7,07%.

Sebenarnya pemerintah juga telah berusaha untuk mengatasi pengangguran yang melonjak. Contohnya, dengan kartu prakerja. Dengan kartu prakerja, pemerintah berharap bisa menyiapkan tenaga terampil yang mampu mandiri dalam berwirausaha.

Dibuktikan Dengan adanya metode pembelajaran berbasis online yang ditawarkan. Namun, rasanya kartu prakerja kurang cocok untuk diterapkan saat kondisi pandemi Covid-19 seperti ini.

Melihat kebutuhan rumah tangga yang mendesak, masyarakat lebih butuh untuk mendapatkan gaji atau upah secara cepat daripada harus meng-upgrade kompetensi diri.

Pendapatan masyarakat yang menurun akan menyebabkan penurunan pada daya beli masyarakat. Masyarakat kalangan atas tentu akan berpikiran untuk saving money atau investasi di kala kondisi perekonomian seperti ini. Daripada harus membuang uang untuk konsumsi barang mewah yang justru akan merugikan. Namun, untuk masyarakat kalangan bawah, tidak banyak pilihan yang bisa mereka ambil, selain konsumsi untuk sebatas bertahan hidup. Pertanyaannya adalah apa yang mereka bisa konsumsi? Pekerjaan pun tak punya.

Tentunya berharap dari bantuan sosial dari pemerintah adalah salah satu sumbernya. Hal ini juga sekaligus menjadi indikasi ketiga Indonesia akan mengalami resesi. Yaitu bantuan sosial masih dibutuhkan terus menerus.  Untuk saat ini, bantuan sosial tidak bisa dihentikan begitu saja. Mengingat banyaknya jiwa yang harus bertahan hidup di tengah minimnya pendapatan rumah tangga.

Dengan mengandalkan konsumsi dari bantuan sosial, tentu tidak banyak gizi yang bisa tercukupi. Ya, seperti yang kita lihat, bantuan sosial biasanya hanya berupa mie instan, telur, dan beras.

Dengan situasi pandemi yang membutuhkan daya tahan tubuh ekstra, rasanya bantuan sosial hanya cukup untuk bertahan hidup beberapa saat saja.

Selain untuk bertahan hidup, pemerintah tentu juga berharap bahwa bantuan sosial yang diberikan kepada dunia usaha seperti pelonggaran pembayaran angsuran pinjaman, bisa menjadi stimulus bergeraknya roda perekonomian. Namun, kompleksnya pembiayaan dalam dunia usaha, sebut saja upah tenaga kerja, ongkos bahan baku, ongkos angkut, dan sejenisnya membuat para pengusaha belum bisa bangkit dari keterpurukan.

Melihat kompleksnya permasalahan sosial ekonomi saat ini, mungkin utang merupakan pilihan yang tepat untuk membantu perekonomian negara agar tetap eksis selama pandemi Covid-19 masih merajalela.

Semoga saja hutang kali ini bisa memberikan dampak yang lebih nyata kepada rakyat. Karena negara tidak akan pernah ada, jika rakyatnya binasa oleh Corona. Jadi, untuk saat ini rasanya mustahil Indonesia akan terbebas dari utang (*)