“Menambal Defisit, Menjahit Kepercayaan”

Oleh : Eddy Prastyo (Editor in Chief Suara Surabaya Media)
Saya membuka catatan dari Pati dalam 2 pekan terakhir ini. Sebuah kabupaten yang berubah menjadi “kelas pembelajaran publik” soal fiskal daerah. “People power Pati” bukan semata amarah, tetapi alarm keras tentang cara pemerintah daerah mengambil keputusan yang menyentuh dapur warga: tarif PBB yang bisa melonjak sampai 250%.
Kementerian Dalam Negeri turun tangan; Akmal Malik Dirjen Otonomi Daerah menegaskan peran provinsi membina dan memfasilitasi kabupaten/kota, sementara Tito Karnavian Mendagri memerintahkan Inspektorat Jenderal mengecek dasar kebijakan.
Di sisi lain, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengingatkan gejolak ini lahir dari minimnya partisipasi publik yang bermakna saat merancang kebijakan. Jika warga benar-benar diajak sejak awal, resistensi sebesar itu tak perlu terjadi. Pada akhirnya Bupati Pati membatalkan kenaikan 250% itu, sebuah koreksi yang penting, meskipun terlambat.
Kisah Pati cepat menular: Kota Cirebon menghadapi protes karena rencana kenaikan PBB yang oleh sebagian warga disebut “hampir 1.000%”. Wali kota menyangkal angka ekstrem itu dan berjanji mengkaji ulang, namun secara faktual pemkot mengakui ada kenaikan dan tengah menyiapkan formula baru.
Ini bukan sekadar angka, ini tentang timing, transparansi, dan kredibilitas. “Tidak elok kalau timing untuk menaikkan ini dilaksanakan pada saat sekarang,” kata Ahmad Luthfi Gubernur Jawa Tengah saat menanggapi polemik Pati, sebuah pesan yang menurut saya, pantas dicatat seluruh kepala daerah.
Di Surabaya, narasi berbeda tapi nadanya sama: tekanan fiskal. Di RAPBD Perubahan 2025, Pemkot menghadapi defisit pendapatan sekitar Rp700 miliar. Opsi pembiayaan yang dipertimbangkan adalah pinjaman daerah Rp452 miliar untuk proyek infrastruktur strategis.
DPRD mengingatkan efek sampingnya: jangan sampai cicilan pokok dan bunga membuat “program kerakyatan” dikurangi tahun depan. Transparansi skema, beban jangka panjang, dan ruang fiskal untuk layanan dasar, itulah tiga pertanyaan yang harus dijawab di ruang publik, sebelum angka-angka itu diketok.
Jika menengok peta nasional, fragmentasi tekanannya terasa. Kota Palangka Raya, dalam P-APBD 2025, mencatat defisit Rp47,1 miliar dan berharap menutupnya dengan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA). Padang menghitung defisit Rp162,2 miliar, menutupnya lewat pembiayaan netto termasuk rencana pinjaman daerah sekitar Rp37,4 miliar.
Kota Cimahi menyebut defisit sekitar Rp60 miliar pada dokumen perubahan KUA-PPAS. Provinsi Riau di awal tahun bahkan bicara risiko defisit miliaran rupiah yang berdampak ke tunda bayar tunjangan pegawai.