“Menambal Defisit, Menjahit Kepercayaan”

Pada saat yang sama, Kabupaten/Kota seperti Sanggau juga menyusun P-APBD dengan defisit ratusan miliar yang ditutup lewat pembiayaan. Spektrumnya luas: dari puluhan miliar di kota menengah sampai triliunan di tingkat provinsi.
Di belakang layar, ada konteks nasional yang tidak bisa kita abaikan. Pemerintah pusat sedang melakukan efisiensi besar sebagai tindak lanjut Inpres 1/2025. Target penghematan APBN mencapai Rp306,7 triliun, dengan penyesuaian Transfer ke Daerah (TKD) sekitar Rp50,6 triliun.
Logika akuntansi sederhana: ketika sumber “oksigen” dari pusat dikencangkan, daerah yang struktur PAD-nya rapuh, mengandalkan aliran pusat, akan megap-megap lebih dulu. Di titik ini, literasi fiskal publik, termasuk bagi anggota dewan, OPD, media, dan warga—menjadi penopang utama agar kebijakan korektif bisa dipahami dan diawasi.
Regulasi memberi koridor yang jelas tentang “jalan pulang” menutup defisit. UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat-Daerah dan PP 35/2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah/ Retribusi Daerah menyediakan ruang intensifikasi-ekstensifikasi pendapatan. Dari penyesuaian tarif sampai optimalisasi basis pajak.
PP 12/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah mengatur pembiayaan, termasuk penggunaan SILPA, penjadwalan ulang program, dan pinjaman daerah yang wajib melalui persetujuan DPRD dan evaluasi pusat. Dan di 2025, Inpres 1/2025 plus pedoman teknis Kemendagri mendorong efisiensi belanja, realokasi ke prioritas, serta penguatan disiplin fiskal.
Jalurnya sah, tetapi setiap pilihan mengandung konsekuensi sosial-politik yang hanya bisa diredam dengan desain komunikasi yang matang. Karena itu, saya memandang strategi daerah menutup defisit tahun ini jatuh pada tiga pakem besar yang sah dan lazim, tetapi harus diramu sesuai karakter PAD dan beban layanan publiknya.
Pertama, efisiensi dan realokasi belanja non-prioritas. Ini langkah cepat yang politisnya lebih “nyaman”, tapi daya ungkitnya terbatas bila struktur belanja sudah sangat rigid.
Kedua, pembiayaan melalui SILPA dan/atau pinjaman daerah. Cara ini ampuh untuk menjaga proyek prioritas, namun membebani ruang fiskal tahun-tahun berikutnya.
Ketiga, intensifikasi pendapatan. Cara ini bisa menggunakan instrumen mulai dari pajak kendaraan, pajak mineral bukan logam dan batuan, BUMD, hingga PBB. Yang terakhir ini paling berisiko sosial jika tak disiapkan data, fase transisi, dan kompensasi yang adil.