“Menambal Defisit, Menjahit Kepercayaan”

Di saat yang sama, bangun narasi ke publik. Jangan hanya mengumumkan angka; jelaskan mengapa pilihan A dipilih ketimbang B, siapa yang terdampak, apa mitigasinya, dan kapan evaluasi dilakukan. Bahasa sederhananya: jangan menggedor dompet warga sebelum mengetuk pintu rumah mereka.
Dan akhirnya, kembali ke Pati sebagai cermin. Saya melihat “people power” yang sebenarnya: bukan sekadar massa di jalan, melainkan warga yang menuntut dihormati sebagai pemilik anggaran.
Ketika kepala daerah mengubah arah dan membatalkan kebijakan, itu bukan kekalahan, tapi kesempatan kedua untuk merajut kepercayaan dengan mekanisme yang benar.
Saya berharap para kepala daerah memegang kompas kebijakan seperti memegang gelas berisi air di atas meja kaca: mantap, hati-hati, transparan. Retak kecil di peta fiskal kita hari ini adalah peringatan. Jangan tunggu meja kaca itu pecah.
Jika ada kepala daerah yang membaca catatan ini, izinkan saya menutup dengan simbolisme yang sederhana.
Anggaran itu seperti lampu lalu lintas di simpang padat: hijau memberi laju, kuning memberi jeda, merah memberi batas. Bijaknya, Anda tidak menambah lampu baru untuk memaksa orang berhenti lebih lama; Anda menata arusnya agar semua bisa lewat dengan selamat. Karena pembangunan bukan soal siapa paling cepat tiba, melainkan siapa tiba bersama warganya dalam keadaan utuh.
“Keputusan fiskal yang bijak adalah yang tak meninggalkan luka sosial.” (*)