Surabaya sedang menimbang opsi kedua, Padang memadukan SILPA dan pinjaman, Palangka Raya mengandalkan SILPA, sementara Pati dan (rencananya) Cirebon memberi pelajaran keras tentang risiko opsi ketiga bila komunikasi dan uji dampak tidak dikerjakan secara serius.     

Untuk menulis catatan ini, tim redaksi menjalankan penelusuran digital yang ketat. Meleverage AI sebagai “analyst on call”. Kami mengumpulkan dokumen resmi (UU, PP) dan kebijakan (Inpres 1/2025, panduan efisiensi Kemendagri), menyisir siaran resmi pemda, membuka risalah paripurna/rapat anggaran, serta memberitakan dinamika daerah melalui jaringan media kredibel nasional dan lokal.

Data fiskal kami triangulasikan (misalnya angka defisit dan sumber pembiayaan diperiksa silang antara pemberitaan, pernyataan pejabat, dan kanal resmi), kutipan pakar kami verifikasi asalnya (contoh: analisis KPPOD soal partisipasi publik, peringatan DPRD terhadap dampak pinjaman di Surabaya), dan semua angka yang rawan bias kami pasangkan dengan konteks waktu yang presisi, karena dalam fiskal, satu rapat paripurna bisa mengubah narasi.     

Apa pelajaran utamanya?

Pertama, jangan memukul rata. Tidak semua defisit bersifat patologis; banyak yang sekadar “defisit teknis” yang diimbangi pembiayaan sehingga APBD tetap berimbang, seperti Padang dan Palangka Raya.

Kedua, jangan bermain dengan angka target pendapatan yang tidak realistis. Ini bisa menjadi jalan tol menuju revisi yang menyakitkan. Seperti terjadi di Surabaya. “Belum ada intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan yang ekstrem, ditambah perencanaan target yang terlalu tinggi,” kritik Aning Rahmawati anggota Banggar DPRD Surabaya Surabaya.

Ketiga, jika memilih kartu “pajak daerah”, lakukan uji dampak sosial, phasing, pengecualian yang terarah, bandingkan dengan kemampuan bayar rumah tangga, dan siapkan kanal kompensasi. KPPOD sudah mengingatkan: partisipasi publik yang bermakna itu bukan seremoni sosialisasi, melainkan ko-desain kebijakan...dan itulah pagar pertama menghindari krisis kepercayaan.  

Keempat, dan ini krusial untuk 2025: pemerintah pusat sedang mengencangkan ikat pinggang; Transfer Daerah direm, belanja Kementerian/Lembaga dirapikan.

Kepala daerah perlu berpikir “portofolio”: menjaga layanan dasar tetap "on", mengunci prioritas yang berdampak langsung, dan berani menunda proyek yang "glamour" tapi tak urgent.